Selasa, 30 Agustus 2016

Mayadanawa dan penyerangan Raja Kertanegara dari kerajaan Singhasari terhadap kerajaan Bali.

Oleh : Dr. IN. Guli Mudiarcana


 Kertanegara adalah putra Wisnuwardana - raja Singhasari dari tahun 1248-1254 M.  Ibunya bernama Waning Hyun yang bergelar Jayawardhani. Waning Hyun adalah putri dari Mahesa Wunga Teleng (putra Ken Arok –  pendiri Singhasari).  Jadi Kertanegara adalah Kumpi (generasi ke 4) Ken Arok – Ken Dedes.

Kertanegara Naik tahta kerajaan Singosari pada tahun 1254 mengantikan ayahnya - Wisnuwardana.  Sebagaimana diungkapkan kitab pararaton, Kertanegara adalah satu-satunya raja Singhasari yang naik tahta secara damai. Kertanegara merupakan sosok raja Jawa pertama yang ingin mempersatukan seluruh wilayah Nusantara kedalam kekuasaan Singhasari.  

Dalam menjalankan pemerintahnya, Raja Kertanegara menjalankan politik dalam negeri dan luar negeri dalam beberapa kebijakan. Untuk mencapai cita-cita politik luar negerinya menyatukan kerajaan – kerajaan di Nusantara, Raja Kertanegara menempuh cara cara sbb :
1.     Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu (th 1275-1286 M) untuk menguasai kerajaan Melayu serta melemahkan posisi kerajaan Sriwijaya di selat Malaka.
2.      Menggalang kerjasama dan persekutuan  dengan kerajaan Campa dengan menikahkan putrinya Dewi Tapasi dengan Raja Jaya Singawarman – Raja Campa.
3.      Menguasai kerajaan Bali pada tahun 1284 M 
4.      Menguasai Kerajaan Jawa Barat th 1289 
5.      Menguasai Pahang (Melayu) dan Tanjung Pura (Kalimantan)

EKSPEDISI RAJA KERTANEGARA KE BALI DAN MITOS MAYADANAWA

Pada tahun 1284 M Kerajaan Bali ditaklukkan oleh Raja Kertanegara dari Singhasari. Raja Bali ditawan dan dibawa Ke Singhasari. Penaklukan Raja Bali oleh raja kertanegara tidak pernah dicatat dalam sejarah raja-raja Bali, maupun catatan para penulis sejarah atau babad di Bali. Hal ini bisa dimaklumi karena kekalahan adalah suatu aib besar bagi suatu kerajaan.

Melihat dari tahun peristiwa kekalahan raja Bali maka dapat ditarik garis merahnya bahwa:  yang menjadi Raja di Bali pada tahun itu adalah Raja  Pameswara Çri Hyangning Hyang Adhidewalancana (Saka 1182-1208/1260-1284 M) putra raja Sri Masula-Masuli, Keturunan Raja Jaya Pangus.

Dalam babad Pasek disebut Putra Raja Sri Masula masuli adalah Mayadanawa. Sedangkan dalam Lontar Linaning Mayadanawa disebutkan bahwa Mayadanawa mati dibunuh oleh Kebo Parud Makakasir pada tahu 1284 M. jadi  besar Kemungkinan yang disebut Mayadanawa itu adalah Pameswara Cri Hyangning Hyang Adhidewalancana yang menjadi raja di Bali dari tahun 1260-1284 M.
Lantas Kenapa disebut Mayadanawa???

Disinilah politik Pembenaran berlaku. Pembenaran untuk menyerang suatu  Negara berdaulat oleh Negara lainnya dengan alasan tertentu yang dikondisikan.  Atau mungkin jadi juga benar adanya dimana raja Bali saat itu melarang Umat Hindu bersembahyang ke Pura Besakih dan Pura Sad Kahyangan lainnya.

Dalam berbagai Legeda dan Babad yang ditulis saat itu dan sesudahnya : diceriterakan bahwa tokoh Mayadanawa adalah Raja Raksasa yang melarang Umat Hindu bersembahyang ke Pura Besakih. Hal ini bisa jadi benar adanya mengingat Raja Pameswara Cri Hyangning Hyang Adhidewalancana adalah Keturunan Jaya Pagus dengan Kang Cing Wie yang beragama non Hindu.   Bisa jadi Raja Pameswara Sri Hyangning Hyang Adhidewalancana menginginkan Rakyat Bali beralih Agama dari Agama Siwa (Hindu) menjadi agama Budha-Konghuchu  (sesuai agamanya Kangcing Wie).

Akibat kebijakan sang raja yang melarang Umat Hindu bersembahyang ke Pura Besakih dan Pura Sad Kahyangan lainnya menyebabkan kegelisahan dikalangan para pandita (Mpu) Hindu di Bali. Para Mpu yang telah bersusah payah membangun system Kagamaan Hindu di Bali mengalami goncangan dengan pelarangan itu. Sehingga diambilah upaya untuk menyingkirkan sang Raja dari tahtanya.

Dalam Tutur Usana Bali diceriterakan “ turunnya Ida Bhatara ke bumi yang berstana di parhyangan-parhyangan kemudian untuk menjaga keseimbangan dunia ditugaskan Sira Kulputih.
Ketika Sang Kulputih memuja di parhyangan-parhyangan, didengar suara beliau oleh Bhatara Pasupati dari Jambudipa (India)  atau Gunung Mahameru (Juga di India). Bersabda lah Ida Bhatara kepada putranya bernama Sang Putranjaya agar datang ke Bali untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Bali.  Dalam perjalanan Sang Putranjaya ke Bali diiringkan oleh para Bujangga dari Ampel Gading”.

Ampel gading adalah nama tempat di Jawa Timur. Jadi Sang Putranjaya diiringi oleh para Bujangga dari Jawa Timur (Ampel gading). …….dan Ida Betare selalu mengadakan Hubungan dengan Sangkul Putih.

Dalam babab pasek yang diterjemahkan oleh I Gst. Bagus Sugriwa (Balimas 1990) ditulis sbb : Semenjak itu (semenjak Mayadanawa melarang rakyat Bali  Bersembahyang ke Besakih) maka kian meluas dan merajalelanya angkara murka dan durhakanya terhadap para Bhatara. Pada suatu ketika BhataraHyang Mahadewa mengadakan pertemuan dihadap oleh sekalian para Dewa dibalai penghadapan di Besakih. Yang dibicarakan tidak lain adalah tentang halnya Sang Mayadanawa yang sangat angkara murka, memutuskan orang-orang Bali yang hendak mengadakan aci-aci (Yadnya).

Setelah mendapat kata sepakat maka sekalian dewa-dewa pergi ke Gunung Semeru menghadap Hyang Pasupati …..dst. Seraya menyembah Hyang Mahadewa menjawab : Ya Bhatara, hamba mohon ijin kepada Paduka Bhatara untuk membunuh Mayadanawa, karena sangat angkuh momo murka, memutuskan aci-aci. Sepi kini Negara Bali, demikian juga sampai di hakyangan-kahyangan….. Jika benar demikian “ Sabda Bhatara Pasupati Aku memberi ijin. Semoga kesampaian maksudmu”.  (Babad Pasek. I Gst.Bagus Sugriwa. Balimas-Denpasar 1990).

Kalau kisah dalam babad Pasek disandingkan dengan kisah dalam Tutur Usana Bali ada benang merah yang dapat ditarik yaitu para Bhetare di Bali sama-sama menginginkan Mayadanawa tersingkir dari Kekuasaan. Para Bhetare di Bali sama-sama memohon bantuan ke Jawa. Bahkan dalam Tutur  Usana Bali jelas disebutkan Bhatara Putranjaya diiringi oleh para Bhujangga dari Ampel gading (Jawa Timur).

Kisah ini merupakan kisah Babad (sastra jaman dahulu), yang berisi kisah simbolis. Kemungkinan saat itu Para Pendeta (Mpu) di Bali bermusyawarah di Pura Besakih untuk memohon bantuan dari Penguasa Jawa (disebut gunung Semeru). Yaitu Raja Kertanegara dari Singhasari.

Kenapa Kertanegara??? Karena sejarah Peperangan antara Singhasari (Kertanegara) melawan kerajaan tahun 1284 M  tidak pernah tercatat dalam sejarah Bali, hanya tercatat dalam sejarah Singhasari (sejarah Nasional Indonesia), Hal ini bisa dimaklumi karena kekalahan adalah Aib bagi suatu kerajaan dan tidak perlu diingat-ingat. Tetapi para Pujangga Bali tidak kehilangan akal untuk menuliskan peristiwa ini yaitu  dengan membuat MITOS MAYADANAWA. Sehingga di Bali beredar luas kisah peperangan antara Mayadanawa dengan Dewa Indra, dengan bumbu-bumbu ceritera adanya Tukad Petanu,Tirta Empul.

Kembali ke pokoh bahasan :
Kalau analisa ini benar,  maka upaya pelarangan umat Hindu untuk bersembahyang ke Besakih membuat para Pandita Hindu (para Mpu) di Bali menjadi gerah. Mereka kemudian meminta Raja Kertanegara dari Singosari untuk membantu menyingkirkan raja Bali.  (catatan : dalam berbadai babad dan usana disebutkan para Mpu di Bali memohon perlindungan Ide Betare di Semeru (Jawa) . Momentum yang sangat tepat karena Raja Kertanegara baru saja memproklamirkan rencana pemersatuan seluruh kerajaan di Nusantara. Maka permintaan para Mpu itu dikabulkan dengan mengirim salah seorang Keturunan Mpu Kananda (keluarga Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi) yang benama Sangkul Petak ke Bali untuk mempelajari situasi dan menyiapkan kondisi sampai raja Kertanegara dari kerajaan Singosari siap mengadakan penyerangan.

Singkat cerita terjadilah perang antara Mayadanawa (raja Bali) dengan para Dewa dari kahyangan yang dipimpin oleh Dewa Indra. Raja Bali yang dijuluki Mayadanawa akhirnya kalah dan konon mati dibunuh oleh Dewa Indra. (dalam buku pelajaran sejarah nasional,  raja Bali ditawan dan dibawa ke Jawa oleh Raja Kertanegara).

Sebutan pasukan Dewa dari Kahyangan dengan pemimpinnya Dewa Indra adalah Mitos yang sudah disiapkan  untuk mengesahkan penyerangan kerajaan Singosari terhadap kerajaan yang berdaulat. Pasukan dari Kahyangan adalah sebutan pasukan dari Singosari sedangkan Dewa Indra adalah sebutan dari Raja Kertanegara.Sedangkan Raja Bali Pameswara Sri Hyangning Hyang Adhidewalancana??(1260-1284 M)  Disebut sebagai Mayadanawa.

Dalam penyerangan Mayadanawa di Bali pasukan Singosari dipimpin oleh Keboparud Makakasir sebagai panglima perang dan Kryan Demung Sasangbungalan   dan Sangkulpetak (dari Keluarga MGPSSR) sebagai penasehat dan Konseptor Perang. 

Karena Sangkul Petak bersama Kebo Parud Makakasir berhasil memusnahkan Mayadanawa dari kerajaan Bali. Maka Keboparud Makakasir diangkat sebagai raja di Bali (1284-1324 M) dibawah kontrol Kerajaan Singosari  mengantikan Pameswara Sri Hyangning Hyang Adhidewalancana (Mayadanawa??),  Sedangkan Sangkul Petak diangkat menjadi Bhagawanta Kerajaan dengan  nama Abiseka Mpu Dwijaksara (I). Tanda (I) adalah  untuk membedakan dengan Mpu Dwijaksara (II) yang dikirim oleh Gajah Mada untuk menundukkan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten atau Sri Tapohulung dari Bedahulu, 59 tahun kemudian yaitu pada tahun 1343 M. 

Tetapi dalam berbagai tulisan Babad nama Sangkul Petak atau sangkul Putih lebih populer dibandingkan nama Mpu Dwijaksara.  Karena nama Sangkul Petak/Sangkul Putih sudah melegenda.

Jadi Mayadanawa adalah julukan Raja Bali saat itu ( Raja Pameswara Çri Hyangning Hyang Adhidewalancana ??  (Saka 1182-1208/1260-1284M).  Mayadanawa adalah keturunan Jayapagus dengan Kangcingwie yang menganut agama Budha. Mayadanawa melarang Umat Hindu di Bali bersembahyang ke Pura Besakih, Sehingga mengundang kemarahan para Brahmana (para Mpu)  di Bali dan Jawa, sehingga para Brahmana (para Mpu)  meminta bantuan Raja Kertanegara dari Singosari untukmenyingkirkan Mayadanawa.

Dalam Lontar linaning Mayadanawa, disebutkan bahwa Mayadanawa mati dibunuh oleh Keboparud Makakasir. Sedangkan lontar lainnya menyebutkan bahwa Mayadanawa dibunuh oleh Sangkulpetak.  Kebo Parud Makakasir adalah Panglima kerajaan Singhasari yang dikitim untuk menyerang kerajaan Bali. Sedangkan Sangkul Petak atau sangkul Putih adalah Brahmana Keturunan Mpu Kananda (Brahmana keluarga Pasek Sanak Sapta Rsi)  yang hidup pada masa Raja Kertanegara. Dari berbagai tulisan tersebut dapat ditarik kesimpulan  bahwa "Mayadanawa" berkuasa pada saat Raja Kertanegara menyerang kerajaan Bali tahun 1284 M

Sangkul Petak adalah seorang Brahmana dan sekaligus merupakan konseptor perang sehingga sering juga disebut dengan WIRA SANGKUL PETAK, sedangkan Keboparud adalah seorang eksekutor (panglima perang)  dalam penyerangan terhadap Mayadanawa di  Bali. Penyerangan Singosari terhadap Mayadanawa (raja Bali) adalah demi untuk menegakkan kembali  Dharma (Agama Hindu) yang  mau dihancurkan  oleh  "Mayadanawa". Selain membawa misi menegakkan Dharma (Hindu) atas permintan para Brahmana (para Mpu)  di Kerajaan Bali, Raja Kertanegara juga membawa misi Penyatuan seluruh Nusantara.

Sangkul Petak sengaja dikirim (lebih tepat disusupkan) terlebih dahulu ke Bali,  untuk mempelajari dan mengkondisikan rakyat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Untuk mengesahkan penyerangan itu maka dibuatlah MITOS MAYADANAWA. Sehingga Rakyat Bali mendukung Penyerangan raja Kertanegara. MITOS MAYADANAWA adalah  mitos untuk mengesahkan penyerangan terhadap raja Bali  yang berdaulat oleh raja Kertanegara dari Singhasari.
 
Berkat jasa dari Sangkul Petak  bersama Kebo Parud Makakasir yang berhasil menyingkirkanMayadanawa, Maka Raja Kertanegara menganugrahi Kebo Parud sebagai raja Bali ( berkuasa dari th 1284 M -1324 M)  dan Sangkul Petak diangkat sebagai Bhagawanta Kerajaan Bali yang bertugas  memberi nasehat kepada raja Bali dan  bertanggung jawab meneruskan tradisi keagamaan yang telah dibangun oleh Rsi Markadeya dan Mpu Kuturan. Sangkul Petak juga bertanggung jawab terhadap aci-aci (Upacara Yadnya) di  seluruh pura Sad kahyangan dan pura dang Kahyangan di Bali, terutama di Pura Besakih, Pura Gelgel, Pura Silayukti dan Pura Lempuyang. Sangkul Petak juga disebut Mpu Dwijaksara (Singgih Wikarma, 1998 :  Leluhur Orang Bali. dari dunia babad dan sejarah, Paramita Surabaya )

Sejak kekalahan Pameswara Sri Hyangning Hyang Adhiedewalancana ( Mayadanawa ??) oleh Raja Kertanegara tahun 1284 maka Dharma kembali Tegak di Bali. Rakyat Bali kembali bisa melakukan Aci aci di pura Besakih dan pura Sad Kahyangan lainnya.

Sejak saat itu kerajaan Bali berada dibawah kontrol kekuasaan Singhasari (dinasti rajasa) . Sampai kemudian Raja Kertanegara mati dibunuh  th 1292 M dalam pemberontakan oleh Jayakatwang dari dinasti Warma.   Jayakatwang mati dibunuh th 1293 M oleh Raden Wijaya (dinasti Rajasa). Kemudian Raden Wijaya (dinasti Rajasa)  membuatuk kerajaan baru bernama MAJAPAHIT pada Purnama Kapat th 1293M.

Pada saat Jayanegara (Kalagemet) menjadi Raja Majapahit,  kekuasaan dinasti Warma di Bali dipulihkan, dengan tetap berada dibawah kontrol Keluasaan Raja Majapahit. Adapun Dinasti WARMA yang diangkat menjadi raja Bali adalah : Bhatara Sri Maha Guru. Beliau diangkat menjadi raja Bali dibawah kontrol Raja Majapahit pada tahun 1324 M,

Tetapi sejak Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Sri Tapohulung)  naik tahta kerajaan Bali pada tahun 1334 M. Sri tapohulung tidak mau mengakui kekuasaan Majapahit dan mau menjadi kerajaan Mandiri.  Atas sikap raja sri Tapohulung itu maka beliau dijuluki BEDAHULU sehingga raja Bedhulu diserang oleh kerajaan Majapahit pada tahun 1343 M.

Dengan membangkangnya Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Sri Tapohulung) dan dikalahkan oleh raja Majapahit dari dinasti Rajasa,  maka berakhirlah  riwayat dinasti WARMA di Bali. 

Dengan berakhirnya kekuasaan dinasti WARMA di Bali maka untuk sementara kekuasaan di Bali dserahkan kepada Ki Patih Wulung (Keluarga Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi). Ki Patih Wulung adalah Patihnya Sri Tapohulung yang sengaja disusupkan oleh mahapatih Gajah Mada untuk mengawasi gerak gerik Sri Tapohulung. Ki Patih Wulung setelah menjadi raja Bali dianugrahi gelar KI GUSTI AGUNG PASEK GELGEL.

Ki Patih Wulung merupakan putra dari  Mpu Dwijaksara. Sebelum menjadi Patih, Ki Patih Wulung adalah seorang Brahmana dengan abiseka Mpu Jiwaksara. Mpu Dwijaksara bersama Mpu Jiwaksara sengaja di kirim dan disusupkan oleh Patih Gadjah Mada ke Bali untuk menjadi Bhagawanta kerajaan di Bali dan anaknya yang bernama Mpu Jiwaksara dijadikan Patih di kerajaan Bali dengan abiseka Ki Patih Wulung  - patih -nya Sri Tapohulung.

KI GUSTI AGUNG PASEK GELGEL menjadi raja Bali dari tahun 1343 - 1352 M. Ki Gusti Agung Pasek gelgel adalah keluarga Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi dari garis Mpu Witadharma.

Sekian


SILAHKAN KLIK :

ILMU SOSIAL



ILMU PSIKOLOGI



TENTANG HINDU






SEJARAH


BABAD

 Ki-Patih-Ulung.



Senin, 29 Agustus 2016

Danghyang Nirarta, Awal surutnya Agama Hindu di Bali.

Agama Hindu  mengalami masa keemasan pada zaman Raja Udayana memerintah di Bali . Raja Udayana memerintah di Bali th 998 - 1011 M,  didampingi oleh Penasehat kerajaan (Bagawanta kerajaan) sekaligus sebagai Senopati kerajaan benama  Mpu Kuturan (datang ke Bali th. 991 M).  Mpu Kuturan dalam menata keagamaan di Bali dibantu oleh saudara saudaranya yaitu : Mpu Semeru (datang ke bali th. 999 M), Mpu Gana (datang ke Bali th. 1000 M), dan  Mpu Gnijaya (datang ke Bali th. 1006 M) 

Ke empat bersaudara itu masing masing Mpu Kuturan berasrama di Silayukti ( Sekarang menjadi Pura Silayukti - Padang), Mpu Semeru berasrama di Besakih (sekarang menjadi Pura Catur Lawa Besakih), Mpu Gana berasrama di Gelgel (sekarang  menjadi Pura dasar Buwana Gelgel) dan Mpu Gnijaya berasrama di Lempuyang (sekarang menjadi Pura Lempuyang Madya). Ke empat Mpu tersebut menata system keagamaan Hindu di Bali yang sempat terkoyak oleh perbedaan sekte. Sebenrnya masih ada 1 lagi saudara Mpu tersebut yaitu yang paling bungsu benama Mpu Beradah, beliau berasrama di Lemah Tulis, pejarakan Jawa Timur. Mpu beradah menjadi Bhagawanta raja Airlangga dari kerajaan Kahuripan.

Dalam menata system keagamaan Hindu di Bali,  Mpu Kuturan memperkenalkan Konsep TRIMURTI dengan membentuk Kahyangan Tiga. Sebagai Bagawanta Kerajaan, Mpu Kuturan memerintahkan untuk membangun Kahyangan Tiga di setiap Desa yang kemudian disebut Desa Adat atau desa Pekraman. Mpu Kuturan juga menata pertanian dengan membentuk Subak, Juga ditata system pemujaan dengan menciptakan Sanggar atau Merajan, Sanggah Kemulan atau Kawitan dls. Mpu Kuturan merupakan Arsitek Desa adat di Bali dan  berhasil mempersatukan Umat Hindu di Bali dalam Desa Pekraman.
Sebelumnya agama Hindu di Bali terpecah kedalam 9 sekte yang masing-masing merasa paling benar dan paling berhak, menyebabkan keagamaan Hindu sering terjadi percekcokan.

Sejak Rakyat Bali dipimpin oleh Raja Udayana (th. 998-1011 M)dengan Penasehat Kerajaan (Bhagawanta Kerajaan) di pegang oleh Mpu Kuturan system keagamaan dan Keamanan rakyat Bali sangat baik dan sejahtera.  Desa adatnya tertata dengan baik, system keagamaannya berjalan dengan baik, dan kepemimpinan agama di desa desa berjalan dengan baik tanpa ada perselisihan.

Masa kemesan agama Hindu di Bali yang ditata dengan pondasi kokoh oleh Rsi Markandeya (abad ke 8)  dan dipekuat dengan Desa Pakraman oleh Mpu Kuturan (abad ke 10)  dilanjutkan oleh keturunan Mpu Kananda (keluarga Sanak Pitu) yang bernama Sangkul Petak (abad ke 12-13), sehingga Agama Hindu di Bali tetap tegak dan mengalami masa kejayaannya selama berabad abad tanpa dapat digoyahkan oleh rongrongan dari manapun.

Pura Besakih yang dibangun pertama kali oleh Rsi Markandeya ( Baliage)  dan kemudian di pelihara secara turun temurun oleh keturunan Sangkul Putih (keturunan Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi) dapat menyelenggarakan Aci aci dengan baik dan lancar.

Adalah  Rsi Markandeya (Baliage) yang pertama kali meletakan panca datu di Besakih. Rsi Markandeya adalah seorang Pandita berasal dari Orisa (India). Beliau datang ke Bali dari Gunung Raung Jawa Timur. Sebelum berasrama di Gunung Raung,  Rsi Markandeya berasrama di Pegunungan Dieng Jawa tengah. Beliau datang ke Nusantara untuk menyebarkan Agama Hindu di Nusantara. Di Bali beliau Rsi Markandeya memperkenalkan Bebantenan sehingga pulau Bangsul kemudian dikenal sebagai Pulau  Bali (Bumi Banten).

Banten atau Sesajen yang diperkenalkan oleh Rsi Markadeya, menurut Bhagawan Dwija disempurnakan oleh Sangkul Petak (Mpu Dwikaksara I), sehingga umat Hindu di Bali mewarisi Bebantenan dalam ritual agamanya sampai saat ini. 

Agama Hindu di Bali sempat mengalami Cobaan
Masa keemasan umat Hindu di Bali sempat diupayakan dan digoyahkan untuk  diganti dengan keyakinan lain dengan melarang umat Hindu bersembahyang ke Pura Besakih. Adalah mitos yang menyebutkan Raja Mayadanawa melarang umat Hindu di Bali bersembahnyang ke pura Besakih.  Upaya itu tidak lepas dari pembisik sang raja yang bernama Kangcingwie isteri dari raja Jayapangus.  Sehingga Raja selanjutnya - keturunan Jayapangus yang bernama : Mayadanawa (Pameswara Çri Hyangning Hyang Adhidewalancana?? (Saka 1182-1208/1260-1286M)    ) yang tidak kuat Sradhanya terhadap agama Hindu, mau menganti Agama Hindu di Bali dengan kepercayaan Agama lain.

Upaya pelarangan umat Hindu untuk bersembahyang ke Besakih membuat para Pandita Hindu (para Mpu) di Bali menjadi gerah. Mereka kemudian meminta Raja Kertanegara dari Singosari untuk membantu menyingkirkan raja Bali "Mayadanawa".  (catatan : dalam berbadai babad dan usana disebutkan para Mpu di Bali memohon perlindungan Ide Betare di Semeru (Jawa) . Momentum yang sangat tepat karena Raja Kertanegara baru saja memproklamirkan rencana pemersatuan seluruh kerajaan di Nusantara. Maka permintaan para Mpu itu dikabulkan dengan mengirim salah seorang Keturunan Mpu Kananda yang benama Sangkul Petak ke Bali untuk mempelajari situasi dan menyiapkan kondisi sampai raja Kertanegara dari kerajaan Singosari siap mengadakan penyerangan.

Singkat cerita terjadilah perang antara Mayadanawa (raja Bali) dengan para Dewa dari kahyangan yang dipimpin oleh Dewa Indra. Raja Bali yang dijuluki Mayadanawa akhirnya kalah dan konon mati dibunuh oleh Dewa Indra. (dalam buku pelajaran sejarah nasional,  raja Bali ditawan dan dibawa ke Jawa oleh Raja Kertanegara).

Sebutan pasukan Dewa dari Kahyangan dengan pemimpinnya Dewa Indra adalah Mitos yang sudah disiapkan  untuk mengesahkan penyerangan kerajaan Singosari terhadap kerajaan yang berdaulat. Pasukan dari Kahyangan adalah sebutan pasukan dari Singosari sedangkan Dewa Indra adalah sebutan dari Raja Kertanegara. Sedangkan Raja Bali Pameswara Sri Hyangning Hyang Adhidewalancana??(1260-1284 M)  Disebut sebagai Mayadanawa.

Dalam penyerangan Raja Kertanegara terhadap Raja Mayadanawa di Bali,  pasukan Singosari dipimpin oleh Keboparud Makakasir sebagai panglima perang dan Sangkulpetak sebagai penasehat dan Konseptor Perang. 

Karena Sangkul Petak bersama Kebo Parud Makakasir berhasil memusnahkan Mayadanawa dari kerajaan Bali. Maka Keboparud Makakasir diangkat sebagai raja di Bali (1284-1324 M) dibawah control Kerajaan Singosari  mengantikan Pameswara Sri Hyangning Hyang Adhidewalancana (Mayadanawa??),  Sedangkan Sangkul Petak diangkat menjadi Bhagawanta Kerajaan dengan  nama Abiseka Mpu Dwijaksara (I). Tanda (I) adalah  untuk membedakan dengan Mpu Dwijaksara (II) yang dikirim oleh Gajah Mada untuk menundukkan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten atau Sri Tapohulung dari Bedahulu, 59 tahun kemudian yaitu pada tahun 1343 M .

 Mayadanawa adalah julukan Raja Bali saat itu ( Raja Pameswara Çri Hyangning Hyang Adhidewalancana ??  (Saka 1182-1208/1260-1284M).  Mayadanawa adalah keturunan Jayapagus dengan Kangcingwie yang menganut agama Budha. Mayadanawa melarang Umat Hindu di Bali bersembahyang ke Pura Besakih, Sehingga mengundang kemarahan para Mpu  di Bali dan Jawa, sehingga para Mpu meminta bantuan Raja Kertanegara dari Singosari untuk menyingkirkan Mayadanawa. 

Ingat kasus pada saat Dandang Gendis - Raja Kediri menghina para Brahmana keturunan Mpu Gnijaya. Para Brahmana Keturunan Mpu Gnijaya kemudian pergi meninggalkan Kediri ke berbagai daerah di sekitar nya, ada yang ke Tumapel yaitu Mpu Purwanata dengan anak-anaknya Kendedes dan Mpu Purwa dan ada yang ke Pasuruan.

Dan pada saat terjadinya perselisihan antara Kertajaya (Dandang Gendis) raja Kediri dengan Ken Arok (akuwu di Tumapel),  para Brahmana Keturunan Mpu Gnijaya akhirnya bersekutu dan mendukung perjuangan  Ken Arok,  karena salah satu keturunan Mpu Gnijaya   yaitu Kendedes- Putri dari Mpu Purwanata dinikahi oleh Ken Arok. Ken Arok dengan dukungan keturunan Mpu Gnijaya berhasil  menyingkirkan Dandang Gendis (Kertajaya) dari tahta Kediri dan membentuk kerajaan baru bernama Singosari.

Brahmana keturunan Mpu Gnijaya yang sangat berperan dalam masa Ken Arok adalah Mpu Ragarunting (Wira Runtimg). Mpu ini terkenal di sinetron sinetron yang disiarkan oleh Indosiar beberapa tahun yang lalu.  Sebagai Brahmana sakti mandraguna. Mpu Ragarunting adalah Konseptor dan sekaligus panglima perang pasukan Ken Arok melawan Dandang Gendis. Dalam Sinetron sering dimunculkan sebagai musuh Mak Lampir.

Keturunan Mpu Gnijaya juga berperan saat Raden Wijaya (keturunan Ken Arok - Kendedes) memproklamirkan berdirinya kerajaan Majapahit pada purnamaning Kapat th 1293 M. Pada saat Kerajaan Majapahit berdirilah mulai dikenal istilah Sanak Pitu bagi keturunan Mpu Gnijaya (babad Pasek oleh Igt, Bgs. Sugriwa-Balimas 1990)


Kembali ke pokok bahasan   

Dalam Lontar lilaning Mayadanawa, disebutkan bahwa Mayadanawa mati dibunuh oleh Keboparud Makakasir. Sedangkan lontar lainnya menyebutkan bahwa Mayadanawa dibunuh oleh Sangkulpetak. Sangkul Petak adalah konseptor,  sedangkan Keboparud adalah seorang eksekutor (panglima perang)  dalam penyerangan terhadap Mayadanawa di  Bali. Penyerangan Singosari terhadap Mayadanawa (raja Bali) adalah demi untuk menegakkan kembali  Dharma (Agama Hindu) yang  mau dihancurkan  oleh Mayadanawa. Selain membawa misi menegakkan Dharma (Hindu) atas permintan para Mpu di Kerajaan Bali, Raja Kertanegara juga membawa misi Penyatuan seluruh Nusantara.

Sangkul Petak sengaja dikirim (lebih tepat disusupkan) terlebih dahulu ke Bali,  untuk mempelajari dan mengkondisikan rakyat Bali yang mayoritas beragama Hindu   dan membuat mitos Mayadanawa untuk mengesahkan penyerangan terhadap raja Bali  yang berdaulat oleh raja Kertanegara. 

Berkat jasa dari Sangkul Petak  bersama Kebo Parud Makakasir yang berhasil menyingkirkan Mayadanawa, Maka Raja Kertanegara menganugrahi Kebo Parud sebagai raja Bali ( berkuasa dari th 1284 M -1324 M)  dan Sangkul Petak diangkat sebagai Bhagawanta Kerajaan Bali yang bertugas  memberi nasehat kepada raja Bali dan  bertanggung jawab meneruskan tradisi keagamaan yang telah dibangun oleh Rsi Markadeya dan Mpu Kuturan.

Sangkul Petak juga bertanggung jawab terhadap aci-aci (Upacara Yadnya) di  seluruh pura Sad kahyangan dan pura dang Kahyangan di Bali, terutama di Pura Besakih, Pura Gelgel, Pura Silayukti dan Pura Lempuyang.


Masa suram Agama Hindu di Bali

Seiring dengan perjalanan waktu, Agama Hindu kembali mengalami masa surut. Agama Hindu di Bali mengalami masa surut mulai sejak diangkatnya Danghyang Nirata sebagai Penasehat Raja oleh Dalem Waturenggong (1460-1550M). Danghyang Nirarta adalah seorang pengungsi dari Majapahit.  Beliau mengungsi  karena di Majapahit sering terjadi percekcokan antara rakyat yang masih setia dengan agama leluhurnya (Hindu) dengan masyarakat yang telah menganut agama Islam.

Danghyang Nirarta  tiba di Bali pada tahun 1489 M, sebelas tahun setelah Majapahit runtuh dan dikuasai Islam Demak. Majapahit runtuh th 1478 M.

Agama Hindu mulai terpecah belah bahkan menjadi semakin parah sejak disusupi Kristenisasi dan Islamisasi yang  mendapat Restu dari Dalem Waturenggong dengan penasehatnya D. Niratha.  

D. Niratha adalah seorang  Pe Dharmayatra yang tidak pernah kembali (Pengunsi) dari Majapahit yang sebelumnya “konon sudah pernah naik Haji” dengan gelar Haji Gureh.  Beliau diangkat menjadi Penasehat dalem Waturenggong karena kesaktiannya. Kesaktian D Nirarta semakin masyur sejak   “konon lagi ya “berhasil me Nyupa (menjelmakan)  Cacing Kalung menjadi Manusia ???. Cacing kalung  yang menjelma menjadi manusia,  berkat kesaktian D. Niratha itu diberi nama Nyi Berit. (catatan : dikemudian hari  Nyi berit mempunyai anak dari D. Nirarta)  

Sejak D Niratha diangkat menjadi penasehat kerajaan, sisitem kemasyarakatan di Bali di restruktirisasi menjadi 4 kasta dengan mengadopsi Catur warna. Hak sebagai Kasta Brahmana diberikan kepada seluruh keturunannya.  Kasta kasta ini  ditetapkan secara turun temurun dalam awig awig kerajaan yang dibuatnya dan disahkan oleh dalem waturenggong.

Penerapan Kasta di masyarakat semakin diperluas dengan memberi Hak muput Yadnya di Pura Besakih dan Pura Gelgel hanya hanya oleh keturunan Beliau.

Sejak diberlakukannya Awig awig kerajaan tentang KASTA inilah mulai timbul bibit bibit percekcokan di kalangan Umat Hindu di Bali.  

Sebelum Danghyang Nirartha diangkat menjadi Penasehat Raja, Agama Hindu berkembang sangat pesat, dan cara berpikir umat hindu sangat Maju dan prosfektif. Tetapi setelah D Niratha menjadi Penasehat raja maka Agama Hindu di Bali mengalami masa suram bahkan mulai diberikannya hak bagi umat Islam dan Kristen untuk menyebarkan agamanya di Bali, dengan memberikan umat islam tempat tinggal di Desa Gelgel (klungkung)  dan Pengayaman (Buleleng) dan di Karangasem. Serta Umat Kristen diberi keleluasaan menyebarkan agamanya di daerah Jembaran.

Danghyan Nirarta juga menyebarkan agama Islam di  Lombok (NTB). Tetapi keislaman D. Niratra belum sempura karena bercampur baur dengan ajaran agama Hindu. Di Lombok  D Niratha  di kenal dengan sebutan Tuan Semeru dan mengajarkan Ajaran Islam Wetu telu. Ajaran Islam Wetu Telunya D. Nirarta mengadopsi ajaran agama Hindu, yaitu suara adzannya mirip dengan suara mantram Gayatri. Dan solatnya Cuma 3 waktu, tidak sama dengan Islam lainnya yang menganut solat 5 waktu.  

Ajaran monumental dari D. Niarta adalah KASTAISME di Bali dengan mengadopsi CATUR WARNA.  D. Nirarta mengadopsi ajaran Kastaisme dari agama Kristen dan Islam. D. Niratha menguatkan  Ajaran Kastaismenya di Bali dengan menuliskannya dalam Lontar : WIDHISASTRA SAKENG NITI DANGHYANG NIRARTA. 



Kasta adalah kosakata bahasa portugis dan Inggris yang diterapkan di wilayah kerajaan kerajaan  Eropa dan kesultanan Timur tengah. Kasta dalam masyarakat Eropa (Kristen) dan Timur Tengah (Islam)  terdiri dari : kaum Pendeta/Ulama,  kaum Bangsawan, Hulubalang, saudagar/enterprenur dan rakyat Biasa/Jelata/kaum proletar.

Kasta dalam masyarakat merupakan stratifikasi sosial masyarakat, bagaikan tembok pemisah dan tidak bisa bercampur baur. Kasta menurut bahasa aslinya adalah stratifikasi sosial masyarakat berdasarkan garis keturunan dan sudah melekat sejak kelahirannya.   

Di India, Kasta  diterapkan secara paksa dengan mengadopsi Ajaran Kasta di Eropa dan Timur Tengah. Catur Warna yang dalam Agama Hindu merupakan tipe Personality/ Tipe kepribadian yang dibentuk oleh interaksi dinamis Triguna-Karma.

Adalah William Jones –Gubernur Jenderal Kolonial Inggris di India yang menetapkan kasta-kasta di India. Kasta di India disahkan dalam UU Kolonial pada tahun 1901.  sedangkan di Bali melalui penentangan dan pemberontakan rakyat diberbagai tempat dipaksakan diberlakukan oleh Kolonial Belanda dengan Undang Undang Raad Van Kerta  th 1910. dengan mengadopsi ajaran Kasta nya D. Niratha. Raad Van Kerta didirikan di Bali pada th. 1882 dengan alasan politik etis.

Belanda menerapkan dan mengesahkan Undang Undang KASTAISME di Bali dengan membentuk Raad Van Kerta dengan mengadopsi ajaran D. Niratha yang termuat dalam Lontar Widhi Sastra sakeng niti Danghyang Nirata tersebut.

Di Jaman dalem Waturenggong dan D. Niratha,  Kasta diterapkan melalui intitusi hukum kerajaan yang kemudian menjadi adat istiadat. Di Jaman Kolonial Kasta dipertegas dengan Undang-Undang Raad Van Kerta th 1920. 

Sejak itulah  pulau Bali semakin LETEH dan Agama Hindu di Bali mengalami masa suram. D. Niratha adalah seorang Danghyang yang pernah berzina dengan Pembantunya Putri  Bendesa Mas yang bernama Nyi Patapan dan juga berzina dengan Nyi Berit yang disebutnya sebagai Jelmaan Cacing Kalung ( catatan : Penulis idak percaya dengan cacing kalung ini, masak ada manusia bisa menghindupkan cacing kalung menjadi Manusia????mungkin ini adalah suatu kiasan atas pelecehan harkat dan martabat penduduk Asli Bali saat itu yang disebut sebagai Cacing kalung). Jelmaan Cacing Kalung (tanda Tanya????? Besar) ini ternyata mempunyai anak dari D. Nirarta dan terus beranak pianak sampai saat ini.

Seorang manusia menghamili Cacing kalung adalah AIB besar dan Musiba besar bagi adat dan peradaban. Apalagi mereka itu sudah di Abhiseka menjadi Brahmana. Itulah sebabnya sejak  beliau mengatur keagamaan di Bali maka pulau Bali tidak henti hentinya di rundung bencana sampai saat ini. Karena beliau adalah seorang Bhagawanta Kerajaan sehingga perbuatannya menjadi AIB bagi seluruh Kerajaan dan Rakyat dikerajaan tersebut.

Realisasi awal dari Awig Awig kerajaan yang dibuatnya adalah Ekspor Budak besar-besaran dari Umat Hindu Bali. Ekpor Budak yang berasal dari pemuda Pemudi Hindu Bali sangat terkenal karena keperkasaan dan ketrampilannya.  Para Pemuda dan Pemudi Hindu dari Bali dikirim sebagai Budak ke Batavia, ke Afrika Selatan dan Ke kepulauan Fiji di laut Pasifik. Mereka dikirim sebagai budak dan dilarang untuk belajar dan mendengar agama Hindu. Karena sudah di disosialisasikan ajaran :  AJUE WERE TAN SIDHI PALANIA. 
Ajaran Kastaismenya telah diterapkan dengan menganggap rakyat dari kasta sudra dapat dijadikan Budak. 

Bahkan dengan kesalahan yang tidak seberapa dan tidak masuk akal, Rakyat yang notabene beragama Hindu berhak dijadikan budak untuk dijual kepada Kompeni, untuk membeli KETU bertatahkan emas dan permata Sang Pandita dan membangun Puri Raja yang megah.

Lebih parah lagi, para raja  Bali yang mengaku Kasta Ksatrya sibuk saling berperang sesame umat Hindu. Dan tidak pernah memperhatikan kehidupan keagamaan dan kesejahtaraan  rakyatnya. Sementara di luar Bali umat Hindu digencet dari berbagai lini untuk dialih agamakan (dikonversi)  menjadi umat Islam dan Kristen.   

Karma berlanjut dengan musibah Kebakaran Puri Klungkung saat upacara Yadnya. Puri Klungkung dan para Pedande penyelenggara Yadnya bukannya intosfeksi diri,  malah sibuk menyalahkan Yadnyanya dan  menyetop pelaksanaan Agni Hotra diseluruh Bali.

Musibah lainya adalah  dengan disambar perirnya Meru di Besakih dan pura Uluwatu. Kemudian hancurnya Pura Ulundanu di Batur oleh Letusan Gunung Batur, terus disusul letusan  Gunung Agung  dengan korban ribuan rakyat Bali. Tragedy berlanjut dengan Pembantaian manusia secara besar besaran di Bali th 1965. Pada pembantaian ini tidak ada  Pedande ataupun Tokoh Umat Hindu yang tergugah hatinya untuk melindungi Umat Hindu dari upaya Pembantaian, bahkan tidak jarang Tokoh Hindu ikut membantai Umatnya yang berbeda haluan secara Politik.

Tragedi selanjutnya adalah BOM Bali, dan eksodusnya Umat Hindu Bali menjadi Kristen Bali (data terakhir sudah 35 % penduduk Denpasar bukan penganut Hindu Bali). Semua ini terjadi sejak Umat Hindu di Bali diatur oleh  D. Niratha dan ajaran-ajarannya tentang Kastaisme, yang masih tetap  dipertahankan oleh generasi penerusnya dan mereka yang diuntungkan dengan statusqua-nya.

Dengan Kastaisme maka seorang yang belongpong (bodoh dan dungu) bisa menjadi Raja/pemimpin  asal dia itu keturunan raja dan pewaris raja. Dengan ajaran kastaisme umat Hindu yang cerdas tidak diberi peluang untuk menjadi Brahmana dan Pemimpin. Dengan kastaime umat Hindu secara perlahan digiring untuk saling berselisih dan kemudian dialih agamakan menjadi Kristen atau Muslim.

Kastaisme jelas sangat bertentangan dengan Catur Wara, karena Catur warna yang terdiri dari Brahmana, Ksatrya, Wesya dan Sudra, dibentuk berdasarkan triguna –karma (kecerdasan dan pilihan perofesional). Bukan oleh keturunan.    

Tragedi selanjutnya adalah KOMERSIALISASI keagamaan Hindu oleh para Pedande (Sulinggih). Tattwa-Etika-dan Upakara yang menjadi 3 kerangka dasar Agama Hindu mengalami ketimpangan. Umat Hindu dijejali dengan PEMBISNISAN  Banten (Upakara) tanpa diberitahukan TATTWA yang benar. Jargon yang dipakai untuk menjawab pertanyaan kritis umat adalah MULE KETO

Bahkan dikalangan Umat Hindu-pun banyak yang telah tercemari oleh pembisnisan keagamaan Hindu menjadi Bisis Pariwisata. Banyak prosesi keagamaan di jual untuk kepentingan Bisnis Pariwisata. Bahkan tidak jarang Wisatawan mempunyai HAK lebih di Pura dibandingkan umat Hindu, seperti masalah Parkir yang baru-baru ini diributkan, dimana seorang Pemedek sebuah pura dilarang parkir diareal Pura karena areal itu diperuntukkan untuk parker  para Touris (Wisatawan). 

Kemudian Pura dasar Buwana gelgel yang dibangun oleh Mpu Dwijaksarapun dikangkangi untuk dikuasai.  Sulinggih keturunan Mpu Dwijaksara tidak diperkenankan melinggih di Bale Pemiyosan (bale Pewedaan), karena Bale Pemiyosan itu hanya dikhususkan untuk Sulinggih dari keturunan D. Nirarta saja. Padahal yang membangun Pura dasar Buwana Gelgel menurut prasasti yang tertulis adalah Mpu Dwijaksara (leluhur Pasek). Jadi ada upaya PENGANGKANGAN terhadap Pura dasar Buwana oleh Keturunan D. Nirarta, dan keturunan yang mengaku Penguasa Puri. Mereka D. Nirarta  dan Puri Gelgel adalah Pendompleng di Pura dasar Buwana. Mereka baru ikut Nyungsung dan membangun pelinggih leluhurnya sejak Smara Kepakisan dan dalem Wurenggong menjadi raja di Gelgel. Pura dasar Buwana Gelgel pada mulanya dibangun oleh Mpu Dwijaksara untuk menghormati Mpu Gana-sang Pancapandita yang sangat berjasa membangun Agama Hindu di Bali pada masa raja Udayana.

Sebenarnya dikangkangi tidak menjadi masalah,  asal mereka mau mendoakan (kalau di Bali disebut memuja) Atma suci Mpu Gana yang telah mencapai alam Moksa.>>>tetapi persoalannya mereka hanya mau memuja Leluhurnya saja denga  mengabaikan Mpu Gana. Padahal Mpu Gana adalah saudara dari Mpu Beradah, Mpu Gnijaya, Mpu Semeru dan Mpu Kuturan, yang turut  membentuk pondasi keagamaan Hindu di Bali.

Bersambung!!!!!!



BACA JUGA 
ILMU SOSIAL



ILMU PSIKOLOGI



TENTANG HINDU










BABAD






  •