Selasa, 11 Juli 2017

TRIPURUSA ADALAH BRAHMA WISNU DAN ISWARA.

Oleh : Dr.  I Nyoman Mudiarcana


Yang disebut Tri Purusa adalah Brahma, Wisnu dan Iswara (Siwa).
Dalam tulisan yang diperkenalkan oleh Danghyang Niurartha Triputusa adalah Siwa paramasiwa dan Sadasiwa, Tripurusa ini mendekati TRINITAS nya agama Kristen

Yang disebut Tripurusa adalah :  Brahma Wisnu dan Iswara seperti  mantram berikut ini :

OM BRAHMÀ WISNU ISWARA DEWAM,
TRIPURUSA SUDDHÀTMAKAM,
TRIDEWA TRIMURTI LOKAM,
SARWA WIGHNA WINASANAM



Artinya :

Hyang Widdhi, dalam kuasa-Mu sebagai Brahma, Wisnu, Iswara,
Tripurusa yang mensucikan Jiwa
Tiga Dewa yang berstana sebagaiTrimurti,                                                                                            Semoga segala bencana dimusnahkan

Mantra diatas biasanya dilantunkan kalau kita melakukan permujaan  di Pura Pemerajan/Kamimitan rong tiga,paibon, padharman, atau dadia.

Dalam berbagai tulisan yang hadir  belakangan,  terutama sejak Danghyang Nirartha diangkat sebagai bhagawanta kerajaan di Gelgel, mucul TRIPURUSA yang lain yaitu Siwa, Paramasiwa dan Sadasiwa yang bersifat hierarkis vertikal. TRIPURUSA yang Hierarkis/vertikal menyerypai ajaran TRINITAS nya agama Kristen yaitu Bapa, Putra dan Roh Kudus.

“ Doktrin Kristen atau Kristiani tentang Tritunggal atau Trinitas (kata Latin yang secara harfiah berarti "tiga serangkai", dari kata trinus, "rangkap tiga") menyatakan bahwa Tuhan adalah tiga pribadi atau hipostasis  yang sehakikat (konsubstansial)—Bapa, Putra (Yesus Kristus), dan Roh Kudus—sebagai "satu Tuhan  dalam tiga Pribadi Ilahi". Ketiga pribadi ini berbeda, namun merupakan satu "substansi, esensi, atau kodrat" (homoousios). Dalam konteks ini, "kodrat" adalah apa Dia, sedangkan "pribadi" adalah siapa Dia” .

TRIPURUSA menurut Danghyang Nirartha adalah satu pribadi Tuhan dalam tiga aspek yang hierarkis/vertikal, yaitu Siwa, Paramasiwa dan Sadasiwa. Ajaran Tripurusa Danghyang Nirartha menyerupai ajaran TRINITAS agama Kristen

Sedangkan TRIPURUSA dalam mantra Weda yang diasa dipakai untuk pemujaan di sanggah Rong Tiga, Pemerajan, Paibon atau Pedarman adalah Brahma Wisnu dan Iswara, yang disebut juga Trimurti.

TRIPURUSA dalam mantra Weda adalah TRIMURTI itu sendiri yang merupakan  3 (tiga)  pribadi Tuhan dalam aspek yang sejajar/Horisontal, sebagai Pencipta, Pemelihara dan mem Prelina.

**** Jadi Kesimpulannya :


TRIPURUSA = TRIMURTI yaitu Brahma Wisnu dan Iswara

Seperti mantram berikut :



OM BRAHMÀ WISNU ISWARA DEWAM,

TRIPURUSA SUDDHÀTMAKAM,

TRIDEWA TRIMURTI LOKAM,

SARWA WIGHNA WINASANAM



Artinya :

Hyang Widdhi, dalam kuasa-Mu sebagai Brahma, Wisnu, Iswara,                                                   Tripurusa yang mensucikan Jiwa ,                                                                                         

Tiga Dewa yang berstana sebagai Trimurti,                                                                                 

Semoga  segala bencana dimusnahkan.





AYO BERDISKUSI secar BAIK dan ILMIAH bersadarkan sumber Bacaan/Lontar/sastra lainnya untuk mencari dan mendekati kebenaran >>> tanpa Menghujat.

Senin, 29 Mei 2017

SEJARAH PARISADHA HINDU DHARMA INDONESIA

Oleh : Dr. I Nyoman Guli Mudiarcana

Sejarah perjuangan umat Hindu dalam rangka menegakkan NKRI  dan berdirinya Parisada Hindu Dharma Indonesia


1.     Latar Belakang : Hindu sebagai Agama tertua yang ada di Indonesia

Agama Hindu adalah Agama yang pernah dianut oleh seluruh rakyat di Nusantara.  Agama Hindu pernah menjadi Agama Negara di Nusantara. Agama Hindu mempengaruhi seluruh sendi kehidupan bermasyarakat dan tradisi-tradisi di Nusantara.

Sejak Indonesia mengenal sejarah (periode Sejarah) Agama Hindu sudah hadir di Nusantara membawa peradaban sejarah. Agama Hindu juga membawa peradaban tulis menulis, kalender, tata kelola pemerintahan, ritual keagamaan, tradisi  dan lain sebagainya.

Sebagai agama pertama dan tertua yang berkembang di Indonesia,  perkembangan agama Hindu mengalami  pasang surut  akibat perobahan ditingkat elite politik dan kekuasaan.  Para Raja yang beragama Hindu memberikan keleluasaan bagi rakyatnya melaksanakan tatacara peribadatan secara Hindu, Hukum hukum pun dibuat sesuai dengan hukum hukum Dharma yang kemudian menjadi panutan turun termurun.

Sejarah Indonesia mencatat mulainya muncul kerajaan kerajaan bercorak Hindu di hampir seantero Nusantara, dari Kerajaan Salakanegara di awal masehi di Jawa barat (th. 130 M), kemudian kerajaan Tarumanegara (th. 358-669)  juga di Jawa barat, Kerajaan Kutai Kertanegara (th. Abad ke 4) di Kalimantan, Kerajaan Kalingga (abad ke 6)  di jawa Tengah, Kerajaan Sriwijaya (abad ke 7)  di sumatera,  Mataram di jawa tengah (abad ke 6), Udayana di Bali (abad ke 9) , Kahuripan (ke 10) , Kediri (ke 11), Singhasari (th 1222 M) di Jawa Timur, Tumasik (singapura- kini), Dharmasraya (melayu),  Pajajaran di Jawa barat dan Majapahit di Jawa Timur. Majapahit adalah puncak kecemerlangan Hindu di Nusantara,  adalah Kerajaan  yang menganut Agama Hindu dengan sistem pemerintahan dan adat istiadat  bercorak Hindu

Masa kejayaan Kerajaan Majapahit (1293-1478)  sekaligus dipandang sebagai masa jaya Nusantara.  Kekuasaan Majapahit hampir meliputi seluruh Indonesia modern ditambah ke utara sampai Yunan (champa) ke barat sampai pulau pormosa (di tanjung harapan Benua Afrika) dan ke timur sampai Papua Nugini. Pada  Jaman Majapahit - Indonesia merupakan salah satu negara super pawernya didunia saat itu.

Toleransi yang diajarkan oleh raja Majapahit ternyata menikamnya dari lambung majapahit.     Kebijakan Raja majapahit yang membuka secara lebar keyakinan baru tumbuh di Nusantara telah meruntuhkan Kejayaan Majapahit. Kekurang cerdasan Raja majapahit terakhir dalam membaca peta perpolitikan dunia saat itu telah menjebabkan keruntuhan kerajaan Majapahit

2.     Abad Pertengahan : Peta Politik Global  dan pengaruhnya terhadap Hindu di Nusantara.

Pertentangan di dunia barat antara Eropa yang Kristen dengan Timur Tengah yang Muslim telah menimbulkani perang salib berkali kali. Perang salib ini  berimbas sampai ke Asia tenggara dimana Turki dan Eropa  berebut pengaruh di Nusantara. Turki menguasai Indonesia bagian barat dan  Eropa menguasai Indonesia bagian timur.

Perebutan pengaruh Turki di Indonesia bagian barat dengan berpusat di Aceh dan pengaruh Eropa di Indonesia bagian Timur dengan berpusat di Maluku dan Nusa tenggara Timur. Menyebabkan Agama Hindu di Bali yang berada ditengah tengah menjadi sangat stategis.  Berkat bantuan Kaisar dari Cina maka Bali tetap bertahan dengan tidak terpengaruh Turki di barat dan Portugis (Eropa di timur).

Jejak pengaruh Cina dapat dilacak dari berbagai jenis arsitektur Meru yang bertingkat tingkat dan  tari Baris, tari Barong, makanan,  maupun  wang kepeng (pis bolong) yang sampai kini masih dipergunakan di Bali. >>>sehingga Bali yang agamanya dipegaruhi oleh Agama India  adat istiadatnya dipengaruhi oleh Hindu dan makanan dan arsitektur Puranya (meru)  dipengaruhi Cina.

Kegagalan Majapahit mengantisipasi pengaruh Perang Salib di Nusantara menyebabkan Runtuhnya kerajaan Majapahit. Sandyakalaning Majapahit -  runtuhnya Kerajaan Majapahit yang ditikam dari belakang oleh paham yang diberi keleluasaan berkembang,  sekaligus pula merupakan awal runtuhnya perkembangan agama Hindu di Indonesia sampai titik terendah. Namun, demikian sisa-sisa kejayaan agama Hindu di Indonesia dipertahankan dengan taat melalui Adat dan Budaya hingga kini oleh  sebagian masyarakat di Pulau Bali, Lombok, Jawa, Sumbawa, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat,  Irian, dan daerah lainnya.

Adat Istiadat itu mula-mula, dipertahankan oleh masyarakat dengan system Kerajaan dengan mempertahankan tradisi kerajaan misalnya :

                   -. Oleh raja raja keturunan Pagarhuyung di Padang tetapi ditumpas oleh kelompo Paderi

                   -.  Raja raja Mataram di Jawa, yang berkompromi dengan  tradisi baru yang dibawa oleh para

                       penyebar agama baru dan budaya baru ditanah Jawa.



Akhirnya mulailah masa masa suram Nusantara, Indonesia terperangkap dalam Kolonialisme asing.



3.     Peran Umat Hindu  melawan  Kolonialisme



Meskipun Indonesia telah dikuasai dan dijajah oleh Kolonialisme Asing, para Pejuang kemerdekaan yang ingin tetap  mempertahankan  tradisi Indonesia, terus mengobarkan semangat perjuangan untuk meraih kembali kebebasan dan kemerdekaan.



Para pencinta adat dan budaya Nusantara dan umat Hindu terus  mengobarkan perlawanan bersenjata thd kolonialisme dimanapun mereka berada,   diantaranya :

-.  Untung Surapati (1660-1706) dengan menghimpun para bekas Budak teman teman sepermainanya     dari Bali membentuk  Laskar Bali di Batavia dengan ciri khas pasukan meudeng (ikat kepala khas Bali) putih   dan  berperang melawan kompeni di tanah Jawa diantaranya di  Batavia, Banten, Cirebon, Kartosuro dan Pasuruan (Jawa Timur)

-. I GustiAgung Jelantik memimpin perjuangan masyarakat Bali dan melakukan “PerangJagaraga”  (1846-1849) untuk menentang pendudukan Pemerintah Hindia Belanda di Bali

-. Ida Cokorda Mantuk Ring Rana memimpin rakyat Kerajaan Badung, melakukan “Perang Puputan Badung”, tanggal 20 September 1906

-. Ida CokordaIstri Kania bersama rakyat Kerajaan Klungkung melakukan “Perang Puputan Klungkung” tanggal 28 April 1908



Dan masih banyak lagi peristiwa bersejarah yang perlu mendapat catatan semastinya, dalam mengusir penjajahan thd politik, adat dan budaya Nusantara



Pada masa pendudukan Jepang, pada tanggal 2 Februari 1994, Jepang mulai membuka pendaptaran prajurit PETA di Bali. Dan pada tanggal 6 April 1944 para perwira dan serdadu Bali telah diangkat secara formal.



Pada pertengahan tahun 1944 seorang pemuda bernama  I Made Wija Kusuma muncul sebagai  pemimpin penting gerakan perlawanan rakyat Bali (MBU DPRI). Juga peran Gede Puger seorang pegawai jawatan  radio jepang di singaraja, juga ada yang namanya I Made Gelgel yang dilaporkan tertangkap awal th 1945 dan tidak ada kabar beritanya lagi.



Pada saat bangsa Indonesia melakukan perjuangan untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, banyak umat Hindu  berjuang sampai titik darah penghabisan untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia diantaranya :

-.  I Gust Ngurah Rai yang memisahkan diri dari MBU DPRI dan melakukan long march ke Besakih dan akhirnya  gugur  sebagai kusuma Bangsa dalam Puputan Margarana 20 November 1946.

-. I Dewa Nyoman Oka -  seorang tentara pelajar yang gugur dalam pertempuran di Jalan Kota Baru – Yogyakarta tanggal 7 Oktober dalam rangka menegakkan kedaulatan NKRI.

-. Gatot Soebroto (Jenderal Gatot Soebroto), seorang Pejuang kelahiran  Banyumas - Jawa Tengah- seorang yang sangat taat pada tradisi Kejawen dan Agama Budha, sebelum berangkat berperang selalu menyempatkan diri membakar dupa dan bermeditasi mohon perlindungan Gusti Hyang Widdhi. Demikian Juga dg RA Kartini yang selalu memuja Agama Budha.



Bahwa Umat Hindu berjuang tidak hanya mempertahankan Pulau Bali tetapi ikut berjuang dan berperang  di daerah lain di Nusantara untuk menegakkan NKRI.   Keberanian Pemuda Hindu  dalam perjuangan meneggakkan NKRI  patut dijadikan suri tauladan. .



Demikian pula pada masa pergerakan, muncul tokoh tokoh : I Made Wijakusuma (pemimpin PRI kemudian MBU-DPRI),    Mr Ketut Pudja,,  AA Gede Agung, Cokorde Raka Sukawati (ketiganya pemimpin politik),   I Gede Puger (pemimpin Pesindo), I Nyoman Mantik (tokoh penting PRI kemudian MBU-DPRI), I Nyoman Pegeg (BKR Sunda Kecil- kemudian menjadi tokoh kunci intelejen TKR),  I Nengah Wirta Tamu (pak Cilik), I Gede Paneca, I Made Mendra dan  I Ketut Wijana adalah tokoh tokoh pergerakan bersenjata beragama Hindu.



4.     Perjuangan mempertahankan Agama Hindu





        Setelah pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, dan meskipun heroisme    masyarakat Bali yang beragama Hindu diakui partisipasinya dalam perang kemerdekaan,  namun secara formal, agama Hindu yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Bali belum diakui oleh pemerintah.


Perjalanan sejarah perjuangan masyarakat Hindu memperoleh legitimasi Negara atas agamanya dapat direkonstruksi sebagai berikut:



1.      Pada tanggal 26 Desember 1950, Menteri Agama (K.H. Masykur) bersama Sekjen mendatangi Kantor Daerah Bali yang diterima oleh I Gusti Bagus Sugriwa sebagai salah satu Anggota Dewan Pemerintahan Daerah Bali (DPD. Bali) bertanya jawab mengenai agama Hindu Bali. Setelah itu, Menteri Agama dapat menerima alasan mengapa Agama Hindu Bali harus diakui sebagai agama Negara dan menjanjikan akan mengesahkannya setelah selesai keliling di Sunda Kecil.



2.      PadaTanggal 10 Oktober 1952, Menteri Agama, Sekjen Menteri Agama (R. Moh. Kafrawi) disertai Kepala Jawatan Pendidikan Agama Islam member ceramah di Balai Masyarakat Denpasar dan menyatakan bahwa “.... tidak dapat mengakui Agama Tirta  sebagai Agama resmi karena tidak ada peraturan untuk itu berbeda,  dengan Agama Islam dan Agama Kristen memang telah ada peraturannya ......



3.      Pada Pertengahan Tahun 1953, Pemerintah Daerah Bali membentuk Jawatan Agama Otonom Daerah Bali dengan tujuan untuk mengatur pelaksanaan agama umat Hindu Bali, karena belum diatur dari pusat. Pimpinan lembaga tersebut dipercayakan kepada I Putu Serangan dan Ida Padanda Oka Telaga. Di tiap-tiapKapupaten dibentuk Kantor Agama Otonom yang diketuai oleh seorang Pedanda. Pada tahun ini pula DPD. Bali atas persetujuan DPRD. Bali mencabut hukuman: Asu Pundung, Anglangkahi Karang Hulu, Manak  Salah, Salah Pati AngulahPati, karena tidak sesuai lagi dalam suasana demokrasi.



4.      Pada tanggal 29 Juni 1958 lima orang utusan organisasi agama dan sosial di Bali menghadap Presiden Soekarno di Tampaksiring. Diantar oleh Ketua DPR Daerah Peralihan Daerah Bali I Gusti Putu Mertha. Rombongan utusan itu adalah :

a.       Ida Pedanda Made Kumenuh,

b.      I Ketut Kandia

c.       I Gusti AnandaKusuma,

d.      Ida Bagus Wayan Gede,

e.       Ida Bagus Dosther



Pokok masalah yang diajukan adalah supaya dalam  Kementerian Agama Republik Indonesia ada bagian Agama Hindu, sebagaimana yang telah diperoleh oleh Islam, Katholik dan Kristen. Permohonan tersebut memperoleh response yang positif dari Pemerintah



5.      Pada tanggal 5 September 1958 terbit lah Surat Keputusan Menteri Agama RI yang mengakui keberadaan Agama Hindu.  Selanjutnya terhitung mulai tanggal 2 Januari 1959 pada Kementerian Agama Republik Indonesia dibentuk Biro Urusan Agama Hindu Bali pada Kementrian Agama Republik Indonesia. Biro tersebut pertama kali dipimpinoleh I Gusti Gede Raka dibantu oleh I NyomanKajeng. Setelah I Gusti Gede Raka meninggal dunia saat masih menjabat, lalu digantikan oleh I NyomanKajeng.



6.      Pada Tanggal 7 Oktober 1958 :  diadakan pertemuan kembali antara Pemerintah Daerah Bali dengan Pimpinan Organisasi Keagamaan di Bali di Balai Masyarakat Denpasar. Pada pertemuan tersebut diputuskan membentuk panitia yang bertugas mempersiapkan Dewan Agama Hindu Bali. Panitia terdiri atas :



a.       Paruman Para Padanda,

b.      Organisasi-organisasi Agama Hindu di Bali,

c.       Kumara Bhawana 

d.      Angkatan Muda Hindu Indonesia - Bali,

e.       Doktor Ida Bagus Mantra

f.       I Gusti Bagus Sugriwa.





7.      Pada tanggal 6 Desember 1958, panitia tersebut menyelenggarakan rapat di Pasanggrahan Bedugul dan memutuskan bahwa Hindu Bali Sabha akan diadakan pada bulan Januari 1959.



8.       Pada tanggal 21-23 Februari 1959 diadakan : PesamuhanAgung Hindu Bali, di Gedung Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar yang dihadiri oleh     :  20 orang. Delapan dari delegasi pemerintah dan 12 dari organisasi keagamaan Bali seperti:



1.      Perhimpunan Buddhis Indonesia Bali Dharma Yadnya,

2.      Partai Nasional Agama Hindu Bali,

3.      Majelis Hinduisme,

4.      Wiwada Sastra,

5.      Sabha Satya Hindu Dharma,

6.      Perhimpunan Hidup Ketuhanan,

7.      Angkatan Muda Hindu Bali Kumara Bhuwana, (Pemuda Pasek)

8.      Yayasan Dwijendra,

9.      Eka Adnyana Dharma,

10.  Persatuan Keluarga Bujangga Waisanawa,

11.  Paruman Pandita.

12.  Paruman Para Pedande.



Yang pada akhirnya membentuk Parisada yang melahirkan “PiagamParisada”.

Hindu Bali Sabha atau Pasamuhan Agung Hindu Bali, Pesamuan  tersebut kemudian dikenal sebagai Sidang Pembentukan Parisada Dharma Hindu Bali.


Ada sejumlah tantangan  yang menyebabkan putra-putra terbaik Bali membentuk PDHI pada waktu itu, baik dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Tantangan dari luar disebabkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia di mana masing-masing agama dituntut  untuk berhimpun dalam suatu majelis keagamaan atau lembaga keagamaan  agar mempermudah komunikasi antar lembaga, termasuk Negara sebagai sebuah lembaga. Ini tentu merupakan tantangan positif, bahwa gagasan mewadahi diri dalam satu lembaga bagi pemeluk agama Hindu di Indonesia berarti  pula melakukan penataan diri sehingga terbentuk peradaban Hindu berdasarkan dharma.


Sementaraitu, di tengah situa sipolitik yang memanas, PartaiKomunis Indonesia (PKI) sangat tidak menghendaki berdirinya PDHI. Namun, karena keteguhan sejumlah orang yang bersemangat tinggi mengabdikan diri pada bidang agama Hindu—bak bintang bersinar di tengah malam paling gela, menyebabkan PDHI akhirnya terbentuk juga, sudah tentu dengan mabela pati (resikomati).



Dari dalam, desakan untuk membentuk lembaga ini disebabkan karena kesadaran kaum intelektual pada waktu itu untuk menata kehidupan beragama Hindu agar benar-benar berlandaskan ajaran dharma.


Pembentukan PDHI memang dilandasi cita-cita mulia pendirinya untuk menata diri (dharma agama) agar peradaban Hindu benar-benar berdasarkan ajaran dharma dan menjadi mitra pemerintah menciptakan Negara jagadhita (dharma nagara). Dari aula Fakultas Sastra Unud yang sederhana akhirnya padatanggal 23 Pebruari 1959 lahirlah apa yang disebut PiagamParisadha yang merupakan cikal bakal terbentuknya PHDI sebagai lembaga nasional yang diakui dunia. Dengan demikian, dapat dikatakan tonggak kelahiran PHDI sekaligus merupakan tonggak kebangkitan Hindu Indonesia sehingga 50 tahun PHDI berarti pula Setengah Abad Kebangkitan Hindu Indonesia yang harus diperingati secara istimewa oleh masyarakat Hindu di Indonesia.



9.      Mahasaba I PDHI tanggal 7-10 Oktober  tahun 1964, di Denpsar, PDHI berganti  nama menjadi PHD (parisada Hindu Dharma)

10.  Mahasaba II tgl 2-5 Desember 1968 di Denpasar

11.  Mahasaba III tgl 27-29 Desember 1973 di Denpasar.

12.  Mahasaba IV tgl  24-27 Desember 1980 di Denpasar

13.  Mahasaba V tgl 24-27 febuari 1985 di Denpasar

14.  Mahasaba VI tgl 9-14 September 1991 di Jakarta,  PHD berobah menjadi PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia)



5.     Masa Kemabangkitan Kembali  Pemuda Hindu

1.      Pada tahun 1982 terjadi pergolakan dikalangan Mahasiswa Hindu di Yogyakarta, akibat persentuhannya dengan aktivis mahasiswa di kampus,

2.       Tahun 1983 di UGM berdiri KMHD _ Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Univesitas Gadjah Mada Yoygakarta dan di IKIP Negeri berdiri organisasi HIMAH (Himpunan Mahasiswa Hindu)

3.      Tahun 1984 mahasiswa Hindu di Yogyakarta sepakat mengundang seluruh tokoh Pemuda dan tokoh Agama Hindu  se Indonesia untuk berkumpul di Kaliurang-  Yogyakarta>>>dan melalui Mahasaba I Pemuda Hindu I terbentuklah PERADAH Indonesia (Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia)

4.      Akibat dominasi Politik Orde Baru saat itu dan klaim Peradah sebagai satu satunya wadah Pemuda, Mahasiswa, dan Wanita Hindu,  yang menjadi Anderbaow GOLKAR maka pada tahun 1985 Peradah berkembang  menjadi berbagai  organisasi yaitu PERADAH INDONESIA  dan PHI (PEMUDA HINDU INDONESIA), KMHDI dan WHDI dan PRAJANITI  kembali dihidupkan.

Kini Jaman Reformasi, dimana persaingan Global masih terus berlanjut maka sewajarnyalah Umat Hindu bersatu padu saling bahu membahu membangun kesejahteraan Bangsa dan tetap menegakkan Bhineka Tunggal Ika, pancasila dan  NKRI

Sabtu, 29 April 2017

Asal Usul Untung Surapati


Beberapa catatan sebagai Latar belakang :



Restrukturisasi masyarakat Bali mulai ada sejak dalem Waturenggong menjadi raja di Gelgel (1460 - 1550M). Masyarakat di Bali di restukturisasai menjadi berbagai SOROH diantaranya Soroh IB yaitu keturunan dari Danghyang Nirarta, Soroh Arya (keturunan para Arya  yang menyertai pemyerangan Gajah Mada ke Bali dengan Nama  depan I Gusti) Soroh Satrya Dalem (kturunan Sri Krsna Kepakisan dengan nama depan I Dewa) soroh Pasek dengan nama depan Ki (laki) atau Nyi (perempuan), soroh Pande dan lain sebagainya.



Untuk mempersatukan berbagai soroh itu maka, Pura dasar Buwana Gelgel ditingktkan statusnya menjadi pura kerajaan yang mencakup 4 soroh yaitu soroh : Satrya Dalem, IB, MGPSSR, dan Pande)



Mulai saat itu nama soroh dapat dikenali dari namanya antara lain I Dewa, Ida bagus, I Gusti, dls.  Soroh ini mengadopsi CATUR WARNA shg terjadi soroh IB disebut Wangsa Brahmana, Soroh satrya Dalem (I Dewa) disebut wangsa Ksatrya, soroh para Arya dengan sebutan I Gusti disebut wangsa Wesya sedangkan diluar itu disebut soroh Jaba.



Pada saat Bali dibawah kekuasaan Kolonial para Arya beramai ramai menganti namanya menjadi IGA, AA, Cok dls. Dan menyebut dirinya Wangsa Ksatrya,Soroh Arya tidak mau dikelompok kan sebagai wangsa Wesya. Kemudian disusul Soroh Pande yang dikelompokkan sebagai Sudra menuntut keadilan di Raad Van Kerta, karena leluhur Pande adalah Soroh Brahmana (Mpu).



Catatan Penting :



Pada saat dalem di Made (cucu dari dalem Waturenggong)  menjadi raja di Gelgel, Nama depan orang Bali menunjukkan soroh mana mereka itu.



Sejarah Bali th. 1660 - 1707



Bali dibawah kekuasaan I Gusti Angung Maruti (1651 – 1677 M)



Pada tahun 1651 terjadi pemberontakan di kerajaan Gelgel yang dilakukan oleh I Gusti Agung Maruti. Dalem Di Made raja Gelgel saat itu terusir dari Gelgel dan menyingkir ke Guliang. Sejak tahun itu (1651) kerajaan gelgel dikuasai oleh I Gusti Agung Maruti hingga tahun 1677 M.



Sejak Kerajaan Gelgel dibawah kekuasaan I Gusti Agung Maruti,  dengan patihnya Ki Pasek Padang Subadra, kerajaan Bali terpecah belah. Raja-raja bawahan gelgel  memisahkan diri menyatakan kemerdekaan dan tidak mau tunduk kepada I Gusti Agung Maruti.





Perang Tulamben


Pada tahun 1667 terjadi perang antara Pelaut-pelaut Bugis dengan Desa Tulamben. Desa Tulamben saat itu dipimpin oleh seorang kepala desa bernama  Ki Jatiwiyasa atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Pasek Tulamben,  karena Ki Jatiwiyasa  merupakan sesepuh Warga Pasek di Desa Tulamben. Pasek juga berarti Pasak atau Pacek yang berarti memperkuat atau penguasa di Desa  atau disebut juga Prebekel atau Bendesa. 




Pada perang ini praktis Desa Tulamben tidak mendapat bantuan dari prajurit kerajaan karena suasana kerajaan masih kacau balau akibat pemberontakan Krian Agung Maruti.  Sehingga perang ini hanya melibatkan masyarakat Desa Tulamben dengan pimpinannya Ki Jatiwiyasa dengan orang perahu dari Bugis.



Adapun penyebab perang itu konon karena persoalan JUDI. Menurut ceritra rakyat yang berkembang disekitar Tulamben, perkelahian diawali saat di Desa Tulamen ada Sabungan Ayam (judi). Pada saat ada sabungan ayam di Desa Tulamben, berlabuhlah  serombongan pedagang dari Bugis. Para Pedagang itu tertarik ingin membeli sebuah batu pipih yang rata (cili kumalasa) yang terdapat dihalaman pura melanting. Para Pedagang dari Bugis memperkirakan bahwa batu itu adalah batu mulya yang bernilai jual sangat tinggi. Sedangkan penduduk Desa Tulamben mengaggap batu itu batu keramat karena didalamnya berisi cili emas dengan guratan gambar dewa-dewi.



Tetapi oleh orang Tulamben batu itu dijadikan taruhan Judi dengan imbalan sendainya orang perahu yang kalah maka orang perahu (Bugis) harus menyerahkan seluruh isi perahunya kepada penduduk Tulamben, sedangkan apabila orang Tulamben yang kalah maka Orang Tulamben akan menyerahkan batu tersebut kepada Orang Perahu.



Orang Perahu (Bugis) meminta membeli ayam jantan untuk aduan dengan syarat ayam putih mulus dengan cuma sehelai bulu ekornya hitam. Namun, tak satu pun penduduk Tulamben kala itu memiliki ayam jago seperti itu. Namun, mereka tak kurang akal memperdaya wong Bugis. Seekor ayam putih total, dicabuti salah satu bulu ekornya. Dari lubang bekas cabutan bulu ekor itu dimasukkan ekor bulu ayam hitam. Agar tak bisa bertarung, leher ayam jago yang bakal dijual ke orang Bugis  itu digantungi seikat uang kepeng*.

Besoknya adu ayam jago pun digelar. Pada akhirnya, ayam itu sama sama lelah dan digelar ronde pruput. Ternyata, ayam jago milik wong Tulamben tajinya nyangkut di sangkar, sehingga tak bisa menyerang. Kerena lelah, tak berdiri, tak bisa menyerang, Ayam jago  milik wong Tulamben duduk. Sementara, meski tak bisa menyerang ayam jago milik wong Wajo tetap berdiri. Saya (wasit tajen*) pun memutuskan kalau adu ayam jago itu sapih alais imbang*.

Wong Bugis sempat hendak kembali ke kapalnya di pantai Tulamben. Setelah berunding di perjalanan, wong Bugis itu kembali lagi ke arena judi ayam jago, dan menyatakan tak terima ayamnya dikalahkan, karena ayamnya masih berdiri, sementara ayam milik orang Tulamben terduduk. Dari sinilah huru-hara dimulai. Orang-orang Tulamben tetap tidak mau dikalahkan karena  angkuh dan sombong,  merasa lebih banyak. Karena merasa lebih sedikit masanya maka orang perahu kembali ke perahunya ditengah laut. Orang Bugis pun menurut  versi Babad Pasek yang diterjemahkan oleh  IGst.Bgs. Sugriwa dan tercantum juga di dalam Babad Pamancangah Arya Kubon Tubuh/Kuta Waringin, mulai membuat strategi  menyerang desa Tulamben.



Perkelahian pun terjadi, Penduduk Desa Tulamben diserang oleh Orang perahu (Bugis).  Ki Jatiwiyasa sebagai sesepuh Desa tidak tinggal diam membiarkan warganya diserang oleh orang luar. Ki Jatiwiyasa pun ikut melibatkan diri dalam perkelahian itu untuk  membela warganya.   Orang Tulamben kalah dalam persenjataan, Orang Tulamben bersenjatakan keris sedangkan Orang perahu bersenjata bedil, sehingga meskipun orang perahu kalah jumlah tetapi menang dalam persenjataan, sehingga banyak penduduk tulamben mati sedangkan yang masih hidup kocar kacir menyelamatkan diri. Diantara yang mati itu termasuk Ki Jatiwiyasa (atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Pasek Tulamen)  dan keluarganya. Anak-anak kecil yang selamat dari perkelahian dan tidak sempat melarikan diri kemudian ditawan dan dibawa ke dalam perahu termasuk Surowiroaji anak dari Ki Pasek Tulamben ( Ki Jatiwiyasa) yang saat itu baru berumur sekitar 6-7 tahunan-an.  Karena semua penduduk melarikan diri dan Tulamben hancur menjadi puing puing karena di bakar oleh orang perahu (Bugis) Sehingga Desa Tulamben sepi sunyi. Dan Surowiroaji ditinggal mati dalam perang oleh keluarganya, sehingga menjadi yatim piatu.



Ki Jatiwiyasa atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Pasek Tulamben adalah anak dari Ki Tirtawijaya Sukma, keturunan Kiyayi Agung Padang Subadra II.  Kiyayi Ageng Padang Subadra adalah seorang Bangsawan di zaman Singosari (Jawa Timur). Pada invasi majapahit ke Bali tahun 1342 Gadjah Mada menyertakan keturunan Ki Ageng Padang Subadra yaitu Ki Ageng Padang Subadra II menyertai Patih Gadjah Mada menyerang kerajaan Bali dari Tianyar.





(catatan : dalam babad kaba-kaba disebutkan  penyerangan ke kerajaan Bedahulu-Bali dilakukan dari arah timur dipimpin oleh Patih Gadjah Mada disertai patih keturunan Mpu Withadarma: lihat babad Kaba-kaba, Dinas kebudayaan Propinsi Bali th 2002 hal. 5).



SUROWIROAJI MENJADI BUDAK



Orang Perahu dari Bugis kemudian membawa Surowiroaji ke Makasar. Surowiroaji kemudian dijual dipasar Budak di Makasar oleh orang perahu dari Bugis dan dibeli oleh  Kapten van Beber, seorang perwira VOC yang ditugaskan di Makasar. Kapten van Beber kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia yang bernama Moor. Sejak memiliki budak baru, karier dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak kecil itu dianggap pembawa keberuntungan sehingga diberi nama "Si Untung".



Untung Surapati  tumbuh sebagai pemuda tampan, gagah dengan tutur bahasa yang halus. Persahabatannya dengan anak majikannya yang benama Susane, membuat Susane jatuh hati kepada Untung.  Ketika Untung berumur 20 tahun diam diam Untung menikahi Susane anak majikannya sehingga kapten Moor marah besar  dan Untung dimasukkan kedalam penjara.   Di dalam penjara Untung kemudian menghimpun para tahanan dan berhasil kabur dari penjara dan menjadi buronan.



Mendapat nama Surapati



Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten dikalahkan VOC. Putranya yang bernama Pangeran Purbaya melarikan diri ke Gunung Gede. Ia memutuskan menyerah tetapi hanya mau dijemput perwira VOCpribumi.



Kapten Ruys (pemimpin benteng Tanjungpura) berhasil menemukan kelompok Untung. Mereka ditawari pekerjaan sebagai tentara VOC daripada hidup sebagai buronan. Untung pun dilatih ketentaraan, diberi pangkat letnan, dan ditugasi menjemput Pangeran Purbaya.



Untung menemui Pangeran Purbaya untuk dibawa ke Tanjungpura. Datang pula pasukan Vaandrig Kuffeler yang memperlakukan Pangeran Purbaya dengan kasar. Untung tidak terima dan menghancurkan pasukan Kuffeler di Sungai Cikalong, 28 Januari1684.



Pangeran Purbaya tetap menyerah ke Tanjungpura, tapi istrinya yang bernama Gusik Kusuma meminta Untung mengantarnya pulang ke Kartasura. Untung kini kembali menjadi buronan VOC. Antara lain ia pernah menghancurkan pasukan Jacob Couper yang mengejarnya di desa Rajapalah.



Ketika melewati Kesultanan Cirebon, Untung berkelahi dengan Raden Surapati, anak angkat sultan. Setelah diadili, terbukti yang bersalah adalah Surapati. Surapati pun dihukum mati. Sejak itu nama "Surapati" oleh SultanCirebon diserahkan kepada Untung.



Terbunuhnya Kapten Tack



Lukisan tradisional Jawa karya Tirto dari Grisek menggambarkan terbunuhnya Kapten François Tack oleh Surapati di Kartasura (1684) di bawah Susuhunan Amangkurat II.



Untung alias Surapati tiba di Kartasura mengantarkan Raden Ayu Gusik Kusuma pada ayahnya, yaitu Patih Nerangkusuma. Nerangkusuma adalah tokoh anti VOC yang gencar mendesak Amangkurat II agar membatalkan perjanjiannya dengan bangsa Belanda tersebut. Nerangkusuma juga menikahkan Gusik Kusuma dengan Surapati.



Kapten François Tack (perwira VOC senior yang ikut berperan dalam penumpasan Trunajaya dan Sultan Ageng Tirtayasa) tiba di Kartasura bulan Februari 1686 untuk menangkap Surapati. Amangkurat II yang telah dipengaruhi Nerangkusuma, pura-pura membantu VOC.



Pertempuran pun meletus di halaman keraton. Pasukan VOC hancur. Sebanyak 75 orang Belandatewas. Kapten Tack sendiri tewas di tangan Untung. Tentara Belanda yang masih hidup menyelamatkan diri ke benteng mereka.



Bergelar Tumenggung Wiranegara



Amangkurat II takut pengkhianatannya terbongkar. Ia merestui Surapati dan Nerangkusuma merebut Pasuruan. Di kota itu, Surapati mengalahkan bupatinya, yaitu Anggajaya, yang kemudian melarikan diri ke Surabaya. Bupati Surabaya bernama Adipati Jangrana tidak melakukan pembalasan karena ia sendiri sudah kenal dengan Surapati di Kartasura.



Untung Surapati pun mengangkat diri menjadi bupati Pasuruan dan bergelar Tumenggung Wiranegara.

Pada tahun 1690 Amangkurat II pura-pura mengirim pasukan untuk merebut Pasuruan. Tentu saja pasukan ini mengalami kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat sandiwara sebagai usaha mengelabui VOC.



Kematian Untung Surapati



Sepeninggal Amangkurat II tahun 1703, terjadi perebutan takhta Kartasura antara Amangkurat III melawan Pangeran Puger. Pada tahun 1704 Pangeran Puger mengangkat diri menjadi Pakubuwana I dengan dukungan VOC. Tahun 1705 Amangkurat III diusir dari Kartasura dan berlindung ke Pasuruan.



Pada bulan September 1706 gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura, dan Surabaya dipimpin Mayor Goovert Knole menyerbu Pasuruan. Pertempuran di benteng Bangil akhirnya menewaskan Untung Surapati alias Wiranegara tanggal 17 Oktober1706. Namun ia berwasiat agar kematiannya dirahasiakan. Makam Surapati pun dibuat rata dengan tanah. Perjuangan dilanjutkan putra-putranya dengan membawa tandu berisi Surapati palsu.



Pada tanggal 18 Juni1707 Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar Amangkurat III. Ia menemukan makam Surapati yang segera dibongkarnya. Jenazah Surapati pun dibakar dan abunya dibuang ke laut.



Perjuangan putra-putra Surapati



Putra-putra Untung Surapati, antara lain Raden Pengantin, Raden Surapati, dan Raden Suradilaga memimpin pengikut ayah mereka (campuran orang Jawa dan Bali). Sebagian dari mereka ada yang tertangkap bersama Amangkurat III tahun 1708 dan ikut dibuang ke Srilangka.



Sebagian pengikut Untung Surapati bergabung dalam pemberontakan Arya Jayapuspita di Surabaya tahun 1717. Pemberontakan ini sebagai usaha balas dendam atas dihukum matinya Adipati Jangrana yang terbukti diam-diam memihak Surapati dalam perang tahun 1706.



Setelah Jayapuspita kalah tahun 1718 dan mundur ke Mojokerto, pengikut Surapati masih setia mengikuti. Mereka semua kemudian bergabung dalam pemberontakan Pangeran Blitar menentang Amangkurat IV yang didukung VOC tahun 1719. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan tahun 1723. Putra-putra Untung Surapati dan para pengikutnya dibuang VOC ke Srilangka.



Dalam karya sastra dan media lain



Kisah perjalanan hidup Untung Surapati yang legendaris, selain sekarang menjadi nama jalan yang umum di Indonesia, juga cukup banyak ditulis dalam bentuk sastra. Selain Babad Tanah Jawi, juga terdapat antara lain Babad Surapati.



Penulis Hindia Belanda Melati van Java (nama samaran dari Nicolina Maria Sloot) juga pernah menulis roman berjudul Van Slaaf Tot Vorst, yang terbit pada tahun 1887. Karya ini kemudian diterjemahkan oleh FH Wiggers dan diterbitkan tahun 1898 dengan judul Dari Boedak Sampe Djadi Radja. Penulis pribumi yang juga menulis tentang kisah ini adalah sastrawan Abdul Muis dalam novelnya yang berjudul Surapati.

Taman Burgemeester Bisschopplein di Batavia (sekarang Jakarta) pasca kemerdekaan Indonesia diubah namanya menjadi "Taman Suropati" untuk mengabadikan nama Untung Surapati, .





KESIMPULANNYA :

      1.      Untung Surapati adalah keturuan Ki Pasek Tulamben dengan leluhur Ki Ageng Padang Subadra

      2.      Pada masa Untung Surapati ditngkap sebagai budak, nama nama soroh orang Bali sudah mulai populer,

            diantaranya IB, I Gst, I Dewa, Ki, Nyi dls.





Referensi

      1.      http://irfanazizi.blogspot.co.id/2016/03/muslim-sunantara-yang-masuk-ke.html

      2.      http://arya-kubontubuh.blogspot.co.id/2009/02/mencari-jejak-lost-of-tulamben.html