Beberapa catatan sebagai Latar belakang :
Restrukturisasi masyarakat Bali mulai ada sejak dalem
Waturenggong menjadi raja di Gelgel (1460 - 1550M). Masyarakat di Bali di restukturisasai menjadi
berbagai SOROH diantaranya Soroh IB yaitu keturunan dari Danghyang
Nirarta, Soroh Arya (keturunan para Arya yang menyertai pemyerangan Gajah Mada ke Bali
dengan Nama depan I Gusti) Soroh Satrya
Dalem (kturunan Sri Krsna Kepakisan dengan nama depan I Dewa) soroh Pasek
dengan nama depan Ki (laki) atau Nyi (perempuan), soroh Pande dan lain
sebagainya.
Untuk mempersatukan berbagai
soroh itu maka, Pura dasar Buwana Gelgel ditingktkan statusnya menjadi pura
kerajaan yang mencakup 4 soroh yaitu soroh : Satrya Dalem, IB, MGPSSR, dan
Pande)
Mulai saat itu nama soroh dapat
dikenali dari namanya antara lain I Dewa, Ida bagus, I Gusti, dls. Soroh ini mengadopsi CATUR WARNA shg terjadi
soroh IB disebut Wangsa Brahmana, Soroh satrya Dalem (I Dewa) disebut wangsa
Ksatrya, soroh para Arya dengan sebutan I Gusti disebut wangsa Wesya sedangkan
diluar itu disebut soroh Jaba.
Pada saat Bali dibawah kekuasaan
Kolonial para Arya beramai ramai menganti namanya menjadi IGA, AA, Cok dls. Dan
menyebut dirinya Wangsa Ksatrya,Soroh Arya tidak mau dikelompok kan sebagai wangsa
Wesya. Kemudian disusul Soroh Pande yang dikelompokkan sebagai Sudra menuntut
keadilan di Raad Van Kerta, karena leluhur Pande adalah Soroh Brahmana (Mpu).
Catatan Penting :
Pada saat dalem di Made (cucu dari dalem Waturenggong) menjadi raja di Gelgel, Nama depan orang Bali
menunjukkan soroh mana mereka itu.
Sejarah Bali th. 1660 -
1707
Bali dibawah kekuasaan I
Gusti Angung Maruti (1651 – 1677 M)
Pada tahun 1651 terjadi pemberontakan di kerajaan Gelgel yang
dilakukan oleh I Gusti Agung Maruti. Dalem Di Made raja Gelgel saat itu terusir
dari Gelgel dan menyingkir ke Guliang. Sejak tahun itu (1651) kerajaan gelgel dikuasai oleh I
Gusti Agung Maruti hingga tahun 1677 M.
Sejak Kerajaan
Gelgel dibawah kekuasaan I Gusti Agung Maruti, dengan patihnya Ki Pasek Padang Subadra, kerajaan
Bali terpecah belah.
Raja-raja bawahan gelgel memisahkan diri
menyatakan kemerdekaan
dan tidak mau tunduk kepada I Gusti Agung Maruti.
Perang Tulamben
Pada
tahun 1667 terjadi perang antara Pelaut-pelaut Bugis dengan Desa Tulamben. Desa
Tulamben saat itu dipimpin oleh seorang kepala desa bernama Ki Jatiwiyasa
atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Pasek Tulamben, karena Ki Jatiwiyasa merupakan sesepuh Warga Pasek di Desa
Tulamben. Pasek juga berarti Pasak atau Pacek yang berarti memperkuat atau
penguasa di Desa atau disebut juga
Prebekel atau Bendesa.
Pada perang ini
praktis Desa Tulamben tidak mendapat bantuan dari prajurit kerajaan karena
suasana kerajaan masih kacau balau akibat pemberontakan Krian Agung
Maruti. Sehingga perang ini hanya melibatkan
masyarakat Desa Tulamben dengan pimpinannya Ki Jatiwiyasa dengan
orang perahu dari Bugis.
Adapun
penyebab perang itu konon karena persoalan JUDI. Menurut ceritra rakyat yang
berkembang disekitar Tulamben, perkelahian diawali saat di Desa Tulamen ada
Sabungan Ayam (judi). Pada saat ada sabungan ayam di Desa Tulamben,
berlabuhlah serombongan pedagang
dari Bugis. Para Pedagang itu tertarik ingin membeli sebuah batu pipih
yang rata (cili kumalasa) yang terdapat dihalaman pura melanting. Para Pedagang
dari Bugis memperkirakan bahwa batu itu adalah batu mulya yang bernilai jual
sangat tinggi. Sedangkan penduduk Desa Tulamben mengaggap batu itu batu keramat
karena didalamnya berisi cili emas dengan guratan gambar dewa-dewi.
Tetapi
oleh orang Tulamben batu itu dijadikan taruhan Judi dengan imbalan sendainya
orang perahu yang kalah maka orang perahu (Bugis) harus menyerahkan seluruh isi
perahunya kepada penduduk Tulamben, sedangkan apabila orang Tulamben yang kalah
maka Orang Tulamben akan menyerahkan batu tersebut kepada Orang Perahu.
Orang
Perahu (Bugis) meminta membeli ayam jantan untuk aduan dengan syarat ayam putih
mulus dengan cuma sehelai bulu ekornya hitam. Namun, tak satu pun penduduk
Tulamben kala itu memiliki ayam jago seperti itu. Namun, mereka tak kurang akal
memperdaya wong Bugis. Seekor ayam putih total, dicabuti salah satu bulu
ekornya. Dari lubang bekas cabutan bulu ekor itu dimasukkan ekor bulu ayam
hitam. Agar tak bisa bertarung, leher ayam jago yang bakal dijual ke orang
Bugis itu digantungi seikat uang
kepeng*.
Besoknya adu ayam jago pun digelar. Pada akhirnya, ayam itu sama sama lelah dan digelar ronde pruput. Ternyata, ayam jago milik wong Tulamben tajinya nyangkut di sangkar, sehingga tak bisa menyerang. Kerena lelah, tak berdiri, tak bisa menyerang, Ayam jago milik wong Tulamben duduk. Sementara, meski tak bisa menyerang ayam jago milik wong Wajo tetap berdiri. Saya (wasit tajen*) pun memutuskan kalau adu ayam jago itu sapih alais imbang*.
Wong Bugis sempat hendak kembali ke kapalnya di pantai Tulamben. Setelah berunding di perjalanan, wong Bugis itu kembali lagi ke arena judi ayam jago, dan menyatakan tak terima ayamnya dikalahkan, karena ayamnya masih berdiri, sementara ayam milik orang Tulamben terduduk. Dari sinilah huru-hara dimulai. Orang-orang Tulamben tetap tidak mau dikalahkan karena angkuh dan sombong, merasa lebih banyak. Karena merasa lebih sedikit masanya maka orang perahu kembali ke perahunya ditengah laut. Orang Bugis pun menurut versi Babad Pasek yang diterjemahkan oleh IGst.Bgs. Sugriwa dan tercantum juga di dalam Babad Pamancangah Arya Kubon Tubuh/Kuta Waringin, mulai membuat strategi menyerang desa Tulamben.
Besoknya adu ayam jago pun digelar. Pada akhirnya, ayam itu sama sama lelah dan digelar ronde pruput. Ternyata, ayam jago milik wong Tulamben tajinya nyangkut di sangkar, sehingga tak bisa menyerang. Kerena lelah, tak berdiri, tak bisa menyerang, Ayam jago milik wong Tulamben duduk. Sementara, meski tak bisa menyerang ayam jago milik wong Wajo tetap berdiri. Saya (wasit tajen*) pun memutuskan kalau adu ayam jago itu sapih alais imbang*.
Wong Bugis sempat hendak kembali ke kapalnya di pantai Tulamben. Setelah berunding di perjalanan, wong Bugis itu kembali lagi ke arena judi ayam jago, dan menyatakan tak terima ayamnya dikalahkan, karena ayamnya masih berdiri, sementara ayam milik orang Tulamben terduduk. Dari sinilah huru-hara dimulai. Orang-orang Tulamben tetap tidak mau dikalahkan karena angkuh dan sombong, merasa lebih banyak. Karena merasa lebih sedikit masanya maka orang perahu kembali ke perahunya ditengah laut. Orang Bugis pun menurut versi Babad Pasek yang diterjemahkan oleh IGst.Bgs. Sugriwa dan tercantum juga di dalam Babad Pamancangah Arya Kubon Tubuh/Kuta Waringin, mulai membuat strategi menyerang desa Tulamben.
Perkelahian
pun terjadi, Penduduk Desa Tulamben diserang oleh Orang perahu (Bugis). Ki Jatiwiyasa
sebagai sesepuh Desa tidak tinggal diam membiarkan warganya diserang oleh orang
luar. Ki Jatiwiyasa pun ikut melibatkan diri dalam perkelahian
itu untuk membela warganya. Orang
Tulamben kalah dalam persenjataan, Orang Tulamben bersenjatakan keris sedangkan Orang perahu bersenjata bedil, sehingga
meskipun orang perahu kalah jumlah tetapi menang dalam persenjataan, sehingga
banyak penduduk tulamben mati sedangkan yang masih hidup kocar kacir
menyelamatkan diri. Diantara yang mati itu termasuk Ki Jatiwiyasa
(atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Pasek Tulamen) dan keluarganya. Anak-anak
kecil yang selamat dari perkelahian dan tidak sempat melarikan diri kemudian
ditawan dan
dibawa ke dalam perahu termasuk Surowiroaji anak dari Ki Pasek Tulamben ( Ki
Jatiwiyasa) yang saat itu baru berumur sekitar 6-7 tahunan-an. Karena
semua penduduk melarikan diri dan Tulamben hancur menjadi puing puing karena di
bakar oleh orang perahu (Bugis) Sehingga Desa Tulamben sepi sunyi. Dan
Surowiroaji ditinggal mati dalam perang oleh keluarganya, sehingga menjadi
yatim piatu.
Ki
Jatiwiyasa atau lebih dikenal dengan sebutan Ki
Pasek Tulamben adalah anak dari Ki Tirtawijaya Sukma, keturunan Kiyayi Agung
Padang Subadra II. Kiyayi Ageng
Padang Subadra adalah seorang
Bangsawan di zaman Singosari (Jawa Timur). Pada invasi majapahit ke Bali tahun
1342 Gadjah Mada menyertakan keturunan Ki Ageng Padang Subadra yaitu Ki Ageng
Padang Subadra II menyertai Patih Gadjah Mada
menyerang kerajaan Bali dari Tianyar.
(catatan
: dalam babad kaba-kaba disebutkan penyerangan
ke kerajaan Bedahulu-Bali dilakukan dari arah timur dipimpin oleh Patih Gadjah
Mada disertai patih keturunan Mpu Withadarma: lihat babad Kaba-kaba, Dinas
kebudayaan Propinsi Bali th 2002 hal. 5).
SUROWIROAJI
MENJADI BUDAK
Orang Perahu dari Bugis kemudian membawa Surowiroaji ke Makasar. Surowiroaji kemudian dijual dipasar Budak di Makasar oleh orang perahu dari Bugis dan dibeli oleh Kapten van Beber, seorang perwira VOC yang ditugaskan di Makasar. Kapten van Beber kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain di Batavia yang bernama Moor. Sejak memiliki budak baru, karier dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak kecil itu dianggap pembawa keberuntungan sehingga diberi nama "Si Untung".
Untung
Surapati tumbuh sebagai pemuda tampan,
gagah dengan tutur bahasa yang halus. Persahabatannya dengan anak majikannya
yang benama Susane, membuat Susane jatuh hati kepada Untung. Ketika Untung berumur 20 tahun diam diam
Untung menikahi Susane anak majikannya sehingga kapten Moor marah besar dan Untung dimasukkan kedalam penjara. Di dalam penjara Untung kemudian menghimpun
para tahanan dan berhasil kabur dari penjara dan menjadi buronan.
Mendapat nama Surapati
Pada
tahun 1683 Sultan
Ageng Tirtayasa raja Banten
dikalahkan VOC. Putranya yang bernama Pangeran Purbaya
melarikan diri ke Gunung Gede.
Ia memutuskan menyerah tetapi hanya mau dijemput perwira VOCpribumi.
Kapten
Ruys (pemimpin benteng Tanjungpura) berhasil menemukan kelompok Untung. Mereka
ditawari pekerjaan sebagai tentara VOC daripada
hidup sebagai buronan. Untung pun dilatih ketentaraan, diberi pangkat letnan,
dan ditugasi menjemput Pangeran
Purbaya.
Untung
menemui Pangeran Purbaya
untuk dibawa ke Tanjungpura. Datang pula pasukan Vaandrig Kuffeler
yang memperlakukan Pangeran
Purbaya dengan kasar. Untung tidak terima dan menghancurkan
pasukan Kuffeler di Sungai Cikalong, 28 Januari1684.
Pangeran Purbaya
tetap menyerah ke Tanjungpura,
tapi istrinya yang bernama Gusik Kusuma meminta Untung mengantarnya pulang ke Kartasura.
Untung kini kembali menjadi buronan VOC.
Antara lain ia pernah menghancurkan pasukan Jacob Couper yang mengejarnya di
desa Rajapalah.
Ketika
melewati Kesultanan
Cirebon, Untung berkelahi dengan Raden Surapati, anak angkat
sultan. Setelah diadili, terbukti yang bersalah adalah Surapati. Surapati pun
dihukum mati. Sejak itu nama "Surapati" oleh SultanCirebon
diserahkan kepada Untung.
Terbunuhnya Kapten Tack
Lukisan
tradisional Jawa
karya Tirto dari Grisek menggambarkan terbunuhnya Kapten François Tack
oleh Surapati di Kartasura
(1684) di bawah Susuhunan Amangkurat
II.
Untung
alias Surapati tiba di Kartasura
mengantarkan Raden Ayu Gusik Kusuma pada ayahnya, yaitu Patih Nerangkusuma.
Nerangkusuma adalah tokoh anti VOC
yang gencar mendesak Amangkurat
II
agar membatalkan perjanjiannya dengan bangsa Belanda
tersebut. Nerangkusuma juga menikahkan Gusik Kusuma dengan Surapati.
Kapten
François Tack
(perwira VOC senior yang ikut berperan
dalam penumpasan Trunajaya
dan Sultan
Ageng Tirtayasa) tiba di Kartasura
bulan Februari 1686 untuk menangkap Surapati. Amangkurat II
yang telah dipengaruhi Nerangkusuma, pura-pura membantu VOC.
Pertempuran
pun meletus di halaman keraton. Pasukan VOC hancur. Sebanyak 75 orang Belandatewas.
Kapten Tack sendiri tewas di tangan Untung. Tentara Belanda yang masih hidup
menyelamatkan diri ke benteng mereka.
Bergelar Tumenggung Wiranegara
Amangkurat II
takut pengkhianatannya terbongkar. Ia merestui Surapati dan Nerangkusuma
merebut Pasuruan.
Di kota itu, Surapati mengalahkan bupatinya, yaitu Anggajaya, yang kemudian melarikan
diri ke Surabaya.
Bupati Surabaya
bernama Adipati Jangrana
tidak melakukan pembalasan karena ia sendiri sudah kenal dengan Surapati di Kartasura.
Pada
tahun 1690 Amangkurat II
pura-pura mengirim pasukan untuk merebut Pasuruan.
Tentu saja pasukan ini mengalami kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat
sandiwara sebagai usaha mengelabui VOC.
Kematian Untung Surapati
Sepeninggal
Amangkurat II
tahun 1703, terjadi perebutan takhta Kartasura
antara Amangkurat III
melawan Pangeran Puger.
Pada tahun 1704 Pangeran Puger
mengangkat diri menjadi Pakubuwana I
dengan dukungan VOC. Tahun 1705 Amangkurat III
diusir dari Kartasura
dan berlindung ke Pasuruan.
Pada
bulan September 1706 gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura,
dan Surabaya
dipimpin Mayor Goovert Knole menyerbu Pasuruan.
Pertempuran di benteng Bangil akhirnya menewaskan Untung Surapati alias
Wiranegara tanggal 17 Oktober1706. Namun ia berwasiat agar
kematiannya dirahasiakan. Makam Surapati pun dibuat rata dengan tanah.
Perjuangan dilanjutkan putra-putranya dengan membawa tandu berisi Surapati
palsu.
Pada
tanggal 18 Juni1707 Herman de Wilde memimpin
ekspedisi mengejar Amangkurat
III.
Ia menemukan makam Surapati yang segera dibongkarnya. Jenazah Surapati pun
dibakar dan abunya dibuang ke laut.
Perjuangan putra-putra Surapati
Putra-putra
Untung Surapati, antara lain Raden Pengantin, Raden Surapati, dan Raden
Suradilaga memimpin pengikut ayah mereka (campuran orang Jawa dan Bali). Sebagian dari mereka ada
yang tertangkap bersama Amangkurat
III
tahun 1708 dan ikut dibuang ke Srilangka.
Sebagian
pengikut Untung Surapati bergabung dalam pemberontakan Arya Jayapuspita di Surabaya
tahun 1717. Pemberontakan ini sebagai usaha balas dendam atas dihukum matinya Adipati Jangrana
yang terbukti diam-diam memihak Surapati dalam perang tahun 1706.
Setelah
Jayapuspita kalah tahun 1718 dan mundur ke Mojokerto,
pengikut Surapati masih setia mengikuti. Mereka semua kemudian bergabung dalam
pemberontakan Pangeran Blitar menentang Amangkurat IV
yang didukung VOC tahun 1719. Pemberontakan
ini berhasil dipadamkan tahun 1723. Putra-putra Untung Surapati dan para
pengikutnya dibuang VOC ke
Srilangka.
Dalam karya sastra dan media lain
Kisah
perjalanan hidup Untung Surapati yang legendaris, selain sekarang menjadi nama
jalan yang umum di Indonesia,
juga cukup banyak ditulis dalam bentuk sastra. Selain Babad Tanah Jawi,
juga terdapat antara lain Babad Surapati.
Penulis
Hindia Belanda Melati van Java
(nama samaran dari Nicolina Maria Sloot) juga pernah menulis roman berjudul Van Slaaf Tot Vorst,
yang terbit pada tahun 1887.
Karya ini kemudian diterjemahkan oleh FH Wiggers dan diterbitkan tahun 1898 dengan judul Dari
Boedak Sampe Djadi Radja. Penulis pribumi yang juga menulis tentang kisah
ini adalah sastrawan Abdul Muis
dalam novelnya yang berjudul Surapati.
Taman
Burgemeester Bisschopplein di Batavia
(sekarang Jakarta)
pasca kemerdekaan Indonesia diubah namanya menjadi "Taman Suropati"
untuk mengabadikan nama Untung Surapati, .
KESIMPULANNYA :
1. Untung Surapati adalah keturuan Ki
Pasek Tulamben dengan leluhur Ki Ageng Padang Subadra
2. Pada masa Untung Surapati ditngkap
sebagai budak, nama nama soroh orang Bali sudah mulai populer,
diantaranya IB,
I Gst, I Dewa, Ki, Nyi dls.
Referensi
BACA JUGA :
ILMU SOSIAL
ILMU PSIKOLOGI
TENTANG HINDU
SEJARAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar